Laman

Rabu, 20 April 2016

Sumber Ajaran Agama Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Sumber utama ajaran islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran adalah kumpulan firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan As-Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad SAW yang dijadikan teladan bagi umatnya. Adapun ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu perkara berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.

B.   Rumusan Masalah
1.    Apa arti Al-Qur’an ?
2.    Apa fungsi Al-Qur’an ?
3.    Bagaimana sejarah turunnya Al-qur’an ?
4.    Apa macam-macam Sunnah ?
5.    Apa arti Ijtihad ?
6.    Apa fungsi Ijtihad ? 
C.   Tujuan
1. Untuk mengetahui arti dan fungsi dari Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui sejarah turunnya Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui bermabagai macam sunnah
4. Untuk mengetahui arti dan fungsi ijtihad
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Sumber Ajaran Agama Islam
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan, atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksaan ajaran islam. Dari sumber inilah umat islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran agama islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berakhir pada kesesatan dan kenistaan. Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran islam yang diantaranya meliputi : 
1.    Al-Qur’an
a.    Pengertian Al-Qur’an
    Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak mungkin berubah, direduksi, ataupun dimanipulasi oleh siapapun. Secara etimologi, kata “Al-Qur’an” adalah bentuk masdar dari kata kerja qara’a-yaqra’u-qira’atan wa qur’anan yang berarti bacaan. Sebagian ulama berpandangan bahwa Al-Qur’an memang bentuk masdar dari qara’a, tetapi diartikan sebagai isim maful, yaitu maqru’ maksudnya Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan yang dibaca. Dengan demikian Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang dimaksudkan untuk selalu dibaca oleh umat manusia kapan dan dimana mereka berada.
     Sedangkan secara teminologi Al-Qur’an diartikan sebagai wahyu (kitab) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril dalam bentuk lafaz yang berbahasa arab sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
     Berdasarkan (QS. Az-Zumar [39]: 1) yang artinya : “kitab al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan (QS. Al-Ana’am [6]:155) yang artinya : “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati. Maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah dan bukanlah puisi, matera, bisikan, ataupun nyanyian sastrawi sebagaimana sering dituduhkan orang-orang kafir sebagai buatan Muhammad SAW.
Adapun kandungan dalam Al-Qur’an antara lain :
1.   Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
2.      Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
3.   Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkarinya.
4.      Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
5.  Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang disebut kehidupan akhirat.
6.    Benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yakni informasi-informasi tentang manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, langit, bumi, matahari dan lain sebagainya.
  
Al-Qur’an mengandung tiga komponen dasar, yaitu :
1.      Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.      Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.  Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

b.   Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim, korektor dan penyempurnaan terhadap kitab-kitab Allah terdahulu, petunjuk bagi manusia, orang yang bertakwa dan orang yang beriman, peringatan (al-dzikr), pembeda (al-furqan) antara hak dan batil, obat jiwa (al-syifa’), cahaya terang (an-nur) bagi yang meraba-raba dalam kegelapan, bukti kebenaran (al-burhan), sekaligus sebagai nasihat (al-mau’izhah) bagi orang yang bertakwa.

c.     Sejarah Turunnya Al-Qur’an
    Al-Qur’an di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur ditujukan untuk menjawab problem dan peristiwa yang terjadi sehingga al-Qur’an diturunkan seolah-olah ia berkomunikasi langsung secara dialogis dengan manusia, dan hal ini memberi hikmah bagi Nabi SAW maupun umatnya, antara lain:
1.      Meringankan Nabi dalam menerima wahyu
2.      Memudahkan Nabi dalam  menjelaskan kandungan al-Qur’an dan mencontoh pelaksanaannya
3.  Meneguhkan hati Nabi dalam menghadapi celaan dan penganiayaan orang-orang kafir dan musyrik
4.    Memudahkan umat dalam menghafal, memahami dan melaksanakan isi atau kandungan al-qur’an
5.  Membangun umat menuju bentuk yang sempurna dengan menanamkan keimanan yang sejati, peribadatan yang benar dan akhlak yang terpuji
6.  Meneguhkan hati orang yang beriman dan meringankan beban penderitaan mereka dalam menegakan dan memperjuangkan Islam.

 Para ulama ulum al-Qur’an membagi sejarah turunnya al-qur’an dalam dua periode, yaitu:
1. Periode Sebelum Hijrah
    Ayat al-qur’an yang turun pada periode sebelum hijrah disebut dengan ayat-ayat makkiyah. periode ini berlangsung selama 12 tahun, 5 bulan dan 13 hari,  yaitu dimulai sejak 17 ramadhan tahun ke-41 sampai awal bulan rabiul awal dari usia Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang pertama turun adalah surat al-alaq, lalu surat muddatstsir dan al-muzzammil. Secara umum, kandungan wahyu pada periode pertama ini menyangkut tiga hal, yaitu pendidikan kepribadian bagi rasul, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan afal (perbuatan) Allah. Dan keterangan tentang dasar-dasar akhlak islam serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah.
2. Periode Sesudah Hijrah
   Periode ini disebut periode madinah dan ayat-ayat yang turun pada tahun ini disebut madaniyah yang berlangsung selama 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari, yaitu sejak awal bulan rabiul awal 1 hijriah sampai 9 julhijah 10 hijriah. Pada periode ini turunlah surat QS. At-Taubah [9]: 13-14, al-Maidah [5]: 90-91, an-Nur[24]: 27, Ali  Imran[3]: 139-140. Yang terpenting pada periode ini adalah kondisi rasul dan kaum muslimin sudah bebas dan hidup tenang sehingga wahyu yang turun kebanyakan kandungan isinya mengenai prinsip-prinsip yang mesti diterapkan untuk mencapai kebahagiaan hidup, sikap atas ahli kitab, orang kafir ataupun kaum munafik, perintah yang tegas tentang judi dan larangan lainnya, serta akhlak sehari-hari bagi seorang muslim. Seluruh wahyu al-Qur’an yang telah diturunkan Allah pada Nabi Muhammad SAW, baik pada periode makkiyah maupun madaniyah, tidaklah dalam wuyud sebuah kitab (mushaf). Pada masa Rasulullah SAW, ayat-ayat al-Qur’an dihafal oleh para sahabat dan ditulis diberbagai macam sarana sederhana. Kemudian baru pada masa Abu Bakar dimulailah pengumpulah ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf oleh panitia yang diketuai Zaid bin Tsabit.
   
     Menurut M. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, ajaran-ajaran didalam al-Qur’an memiliki tiga tujuan pokok, yaitu :
1.   petunjuk Akidah dan kepercayaan yang harus dianut manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan bahkan kepastian adanya hari pemalasan.
2.     petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual maupun kolektif.
3.      petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikut oleh manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia kepada jalan yang lurus demi tercapainya kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.

D. Komitmen Seorang Muslim Terhadap al-Qur’an
     sebagai seorang muslim kita dituntut untuk memiliki komitmen terhadap al-Qur’an, antara lain :
1.  Seorang muslim wajib mengimani bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia (QS. An-Nisa[4]: 136, al-Baqarah[2]: 2).
2.    Seorang muslim dituntut untuk mempelajari al-Qur’an, baik cara membacanya (tilawah), artinya (tarjamah), dan maksudya (tafsir) (QS. Al-Isra’ [17]: 45, Al-Anfal [8]: 2, Al-Muzzammil [73]: 4, 20, Muhammad [47]: 24, Ali-Imran [3]: 7)
3. Seorang muslim harus mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam seluruh kehidupannya, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, maupun kehidupan antar bangsa, baik aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, teknologi, maupun aspek yang lain (QS. Al-Araf [7]: 3, al-Jatsiyah [45]: 7-8, an-Nur [24]: 51, al-Maidah [4]: 44,45,47, an-Nisa [4]: 105).
4.    Seorang muslim haruslah berusaha mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain sehingga mereka dapat memahami dan mengimaniya (QS. Ali-Imran [3]: 110, 104).
5.    Seorang muslim harus berusaha memahami bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an (QS. Yusuf [12]: 2).



2. Sunah
  Secara etimologi as-sunnah berarti (1) at-tariqah: jalan, cara, metode, baik jalan yang terpuji maupun jalan yang tercela; (2) as-sirah: perkehidupan, perilaku; (3) lawan atau kebalikan dari makruh; (4) at-tabi’ah: tabiat, watak, perangai; (5) asy-syari’ah: syariat, peraturan, hukum; dan al-hadist: perkataan.
   Sedangkan secara etimologi, menurut ahli usul fikih, sunah diartikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan atau ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang dijadikan dalil hukum syari’at, disampaikan dengan cara yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil), baik yang berkaitan dengan hukum maupun tidak, baik yang terjadi sebelum Nabi diangkat sebagai rasul maupun setelahnya. Sunah lebih dikenal dengan istilah hadist, khabar, atau atsar.
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti :
1.   Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan Zakat dan lain sebagainya, karena ayat al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah Sunnah.
2.    Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk menghindari penafsiran yang subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.   Mengikuti pola hidup Nabi, karena dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya, sedangkan mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur’an.
4.  Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah yang tidak ada dalam al-Qur’an seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, sedangkan dalam al-Qur’an menyatakan bahwa bangkai itu haram.


A. Klasifikasi Sunah
    sunah umumnya diklasifikasikan menjadi tiga macam berdasarkan kategori perkataan, perbuatan dan  taqrir Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1. Sunah Qauliyyah
   Sunah qauliyyah adalah segala ucapan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti sabdanya : “innamal a’malu binniyat, wa innama likullimri-in ma nawa... (sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya...)” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Sunah Fi’liyyah
   Sunah fi’liyah merupakan segala perbuatan atau tindakan Nabi Muhammad SAW yang berkenaan dengan hukum, seperti cara beliau berwudhu, shalat, haji dan lain sebagainya.
3. Sunah Taqririyah  
   sunah taqririyah adalah sesuatu yang berkenaan dengan pesetujuan atau ketetapan Nabi Muhammad SAW terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan para sahabat beliau. Taqrir Nabi ini bisa berupa diamnya beliau tidak melarang dan tidak membantah ataupun berupa pujian atas perkataan dan perbuatan para sahabat.
   Adapun jika dilihat dari kualifikasi ilmu hadits, maka biasanya sunnah atau hadits dibedakan:
A. Berdasarkan Jumlah Perawi:
1.   Mutawatir,yaitu sunnah atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (pencerita) pada setiap tingkatan (tabaqah) dimana mereka mustahil sepakat untuk berdusta dan riwayat itu harus bersifat inderawi.
2.    ahad, yaitu hadits yang jumlah perawinya disetiap tingkat tidak sampai ketingkat muhtawatir.

B. Berdasarkan Kwalitas Sannad (Jalur Penceritanya) Dan Matan (Teksnya) :
1.  sahih, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, kuat hafalannya, dan tidak mempunyai cacat dan jalur periwayatnya sampai nabi
2.      hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya, tidak cacat moral, namun kurang kuat dalam hal hafalannya dan jalur periwayatannya sampai pada nabi.
3.   dhaif, yaitu hadits lemah, yakni hadits yang penceritanya terdapat cacat, atau periwayatannya tidak sampai nabi.


B. Kedudukan Sunnah Dan Hubungannya Dengan al-Qur’an
fungsi pokok sunnah hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1.      bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya umum, tak ada penjelasannya teknisnya. Misalnya perintah tentang sholat. al-Qur’an hanya memerintahkan umat islam untuk sholat tetapi tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan sholat. Dalam hal ini sunnah lah yang menjelaskan bagaimana cara melaksanakan sholat.

2.      bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an seperti hadits Nabi yang memerintahkan untuk mulai berpuasa pada saat melihat bulan yang menjadi pertanda masuk bulan ramadhan dan menyudahi puasa saat melihat bulan yang menandakan berakhirnya bulan ramadhan.

3.      bayan taudhi, yaitu menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan nabi SAW: “ Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakatkan”. Perkataan ini menerangkan ayat 34 surat At-taubah

C. PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM
   Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1.   Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya. Sedangkan Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2.   Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Sedangkan Tidak seluruh Hadist dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadist  Shahih, ada pula Hadist yang Dhaif.
3.   Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya. Sedangkan Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4.   Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Sedangkan apabila Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5.    Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaan seorang muslim terhadap Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an.

3. IJTIHAD
A. PENGERTIAN IJTIHAD
    Proses pengambilan suatu produk hukum atau aturan tertentu dari sumber asli ini disebut dengan ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban”. Karena itu ijtihad menurut bahasa diartikan sebagai usaha yang optimal dan menanggung beban berat. Kata jahada juga menunjuk makna kesanggupan, kekuatan dan berat.
Secara terminologi para ulama mendefinisikan ijtihad dalam beberapa pengertian, antara lain:
1.  Abdul Wahhab mendefinisikan ijtihad dengan mencurahkan segala kesungguhan untuk mendapatkan syara’ dan dalil yang terperinci dari dalil-dalil syari’ah.
2.  Imam asy-Syaukani mengertikan ijtihad dengan mencurakan segalah kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat amaliah dengan cara menggunakan istinbat (menggeluarkan hukum atau aturan dari sumber asli).
3.   Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai dengan, mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zanni (tak pasti maknanya), dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.
4.   Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad dengan pencurahan kemampuan seorang muztahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.
5.    Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad dengan upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
6.   Muhammad Abduh memberi pengertian ijtihad dengan suatu cara yang disyariatkan untuk menyesuaikan antara perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
7.   Ibrahim Abbas Al-Dzarwi mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan daya dan upaya untuk memperoleh maksud.

            Berdasarkan beberapa definisi para ulama diatas, terdapat persamaan dan perbedaan diantara mereka, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa perbedaan terjadi pada: pertama, terletak pada subjek ijtihad, ada yang menisbatkan kepada ahli fikih dan sebagaian menisbatkan kepada mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad tidak terbatas pada fikih tetapi juga menyangkut hal lain. Kedua, terletak pada metode ijtihad, ada yang menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan sunnah), sementara sebagian yang lain menggunakan metode ma’quli (penalaran akal).
            Adapun kesamaannya yaitu: pertama, hukum yang dihasilkan dari ijtihad bersifat zanni (nilai kebenarannya tidak mutlak), dan kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang berkenaan dengan amaliah, bukan yang berkenaan dengan akidah. Secara umum ijtihad dapat didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum atau ajaran tertentu dari al-Qur’an dan sunnah dengan syarat dan metode tertentu. Namun yang lebih tepat, ijtihad adalah sebuah alat untuk merumuskan hukum atau aturan tertentu dari sumber asli islam. Ijtihad memiliki kesamaan arti dan fungsi dengan istilah Tajdid dapat diartikan sebagai upaya Purifikasi, Revitalisasi, Reformulasi dan Modernisasi ajaran-ajaran islam. Purifikasi artinya pemurnian kembali, yakni mengembalikan ajaran islam sesuai dengan sumber asli yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Revitalisasi adalah pemaknaan ajaran islam sehingga berperan nyata dalam kejiwaan orang bersangkutan maupun dalam kehidupan sosial. Reformulasi adalah penyusunan kembali khasanah keilmuan islam sesuai dengan kebutuhan zaman. Terakhir, Modernisasi adalah upaya menyelaraskan ajaran Islam dengan dunia modern sekaligus mengevaluasi modernisme dengan ajaran Islam.   

Macam-macam Ijtihad yang dikenal dalam syariat islam, yaitu :
1.      Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW. Sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.      Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al-Isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.      Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan, atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.      Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.      Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar janngan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.      Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.      Urf, Yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

B. FUNGSI IJTIHAD
1.  Memberikan kebebasan berpikir kepada manusia untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi dengan akal pikiran yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam
2.     Memberikan kebebasan berpikir kepada umat Islam untuk kembali mengkaji hukum-hukum Islam yang telah lalu sehingga hukum tersebut tetap dapat digunakan untuk masa kini
3.  Agar tidak terjadi kemandekan cara berpikir umat islam dan menghindari segala bentuk taklid (mengikuti dengan cara apa adanya)
4.  Untuk memberi kejelasan hukum terhadap persoalan-persoalan yang tidak ada ketentuan hukum sebelumnya.

C. Hukum Ijtihad
1.      Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah),
2.      Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas,
3.      Memiliki akhlaqul qarimah.
Ulama berpendapat bahwa jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ , maka hukum ijtihad bagi orang tersebut bisa wajib ‘ain, wajib kifayah,sunah, atau haram, tergantung pula kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri yang mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtihad yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu hilang dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib kifayah.
Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak ada atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’ , baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah atau ijtihad   yang hukumnya telah ditetapkan secara kesepakatan ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).

  
D. KEDUDUKAN IJTIHAD
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga terikat dengan ketentuan sebagai berikut:
1.    Yang ditetapkan oleh Ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolut, sebab Ijtihad merupakan aktivitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan Ijtihad pun relatif.
2.      Keputusan yang diterapkan oleh Ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang, tetapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat, tetapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3.      Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4.   Berijtihad mempertimbangkan faktor motivasi, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa ajaran Islam.
5.      Ijtihad tidak berlaku dalam urusan Ibadah Makhdah.

 BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sumber-sumber Islam merupakan hal yang penting bagi kita, karena sumber Islam merupakan petunjuk kita untuk menjalani hidup. Adapun yang dinamakan dengan sumber hukum Islam yaitu segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila di langgar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.

Tidak ada komentar: