BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber ajaran islam adalah segala
sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam. Sumber utama
ajaran islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Quran adalah kumpulan firman
Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan As-Sunnah adalah
segala perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad SAW yang dijadikan teladan
bagi umatnya. Adapun ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan
mengerahkan segala kemampuan nalar untuk menyelidiki dan menetapkan hukum suatu
perkara berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa arti Al-Qur’an ?
2. Apa fungsi Al-Qur’an ?
3. Bagaimana sejarah turunnya
Al-qur’an ?
4. Apa macam-macam Sunnah ?
5. Apa arti Ijtihad ?
6. Apa fungsi Ijtihad ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui arti dan fungsi dari Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui sejarah turunnya Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui bermabagai macam sunnah
4. Untuk mengetahui arti dan fungsi ijtihad
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Ajaran Agama Islam
Sumber adalah tempat pengambilan,
rujukan, atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran islam, karena itulah sumber
memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksaan ajaran islam. Dari sumber
inilah umat islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan
proses ajaran agama islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat islam akan
terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berakhir pada
kesesatan dan kenistaan. Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam
sumber ajaran islam yang diantaranya meliputi :
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak
mungkin
berubah, direduksi, ataupun dimanipulasi oleh siapapun. Secara etimologi, kata
“Al-Qur’an” adalah bentuk masdar dari
kata kerja qara’a-yaqra’u-qira’atan wa
qur’anan yang berarti bacaan. Sebagian ulama berpandangan bahwa Al-Qur’an
memang bentuk masdar dari qara’a, tetapi diartikan sebagai isim maful, yaitu maqru’ maksudnya Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan yang dibaca.
Dengan demikian Al-Qur’an merupakan kitab suci Allah yang dimaksudkan untuk
selalu dibaca oleh umat manusia kapan dan dimana mereka berada.
Sedangkan
secara teminologi Al-Qur’an diartikan sebagai wahyu (kitab) Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat
Jibril dalam bentuk lafaz yang berbahasa arab sebagai petunjuk bagi seluruh
umat manusia.
Berdasarkan (QS. Az-Zumar [39]: 1)
yang artinya : “kitab al-Qur’an ini diturunkan oleh Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan (QS. Al-Ana’am
[6]:155) yang artinya : “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang kami turunkan yang
diberkati. Maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”, maka
dapat dipahami bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah dan
bukanlah puisi, matera, bisikan, ataupun nyanyian sastrawi sebagaimana sering
dituduhkan orang-orang kafir sebagai buatan Muhammad SAW.
Adapun
kandungan dalam Al-Qur’an antara lain :
1. Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap
ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
2.
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan
sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
3. Janji dan ancaman (al wa’d wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi orang yang
percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang
mengingkarinya.
4.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi
dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun kisah orang-orang shaleh
ataupun orang yang mengingkari kebenaran al-Qur’an agar dapat dijadikan
pembelajaran bagi umat setelahnya.
5. Berita tentang zaman yang akan datang.
Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang disebut kehidupan akhirat.
6. Benih dan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan, yakni informasi-informasi tentang manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, langit, bumi, matahari dan lain sebagainya.
Al-Qur’an
mengandung tiga komponen dasar, yaitu :
1.
Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang
mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan
dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.
Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur
secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama
manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin
dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang
berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk
individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun
ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
b.
Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai
pedoman hidup bagi setiap muslim, korektor dan penyempurnaan terhadap
kitab-kitab Allah terdahulu, petunjuk bagi manusia, orang yang bertakwa dan orang yang
beriman, peringatan (al-dzikr), pembeda (al-furqan) antara hak dan batil, obat jiwa (al-syifa’), cahaya terang (an-nur) bagi yang meraba-raba dalam kegelapan, bukti kebenaran (al-burhan), sekaligus sebagai nasihat (al-mau’izhah) bagi orang yang bertakwa.
c. Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an di
wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih
22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur
ditujukan untuk menjawab problem dan peristiwa yang terjadi sehingga al-Qur’an diturunkan
seolah-olah ia berkomunikasi langsung secara dialogis dengan manusia, dan hal
ini memberi hikmah bagi Nabi SAW maupun umatnya, antara lain:
1. Meringankan Nabi dalam
menerima wahyu
2. Memudahkan Nabi dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an dan mencontoh
pelaksanaannya
3. Meneguhkan hati Nabi dalam
menghadapi celaan dan penganiayaan orang-orang kafir dan musyrik
4. Memudahkan umat dalam
menghafal, memahami dan melaksanakan isi atau kandungan al-qur’an
5. Membangun umat menuju bentuk
yang sempurna dengan menanamkan keimanan yang sejati, peribadatan yang benar dan
akhlak yang terpuji
6. Meneguhkan hati orang yang
beriman dan meringankan beban penderitaan mereka dalam menegakan dan
memperjuangkan Islam.
Para ulama ulum al-Qur’an membagi sejarah turunnya al-qur’an dalam dua periode, yaitu:
1. Periode Sebelum Hijrah
Ayat
al-qur’an yang turun pada periode sebelum hijrah disebut dengan ayat-ayat
makkiyah. periode ini berlangsung selama 12 tahun, 5 bulan dan 13 hari, yaitu dimulai sejak 17 ramadhan tahun ke-41
sampai awal bulan rabiul awal dari usia Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang pertama turun
adalah surat al-alaq, lalu surat muddatstsir dan al-muzzammil. Secara umum,
kandungan wahyu pada periode pertama ini menyangkut tiga hal, yaitu pendidikan
kepribadian bagi rasul, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan afal (perbuatan) Allah. Dan keterangan
tentang dasar-dasar akhlak islam serta bantahan terhadap pandangan hidup
jahiliyah.
2. Periode Sesudah Hijrah
Periode ini
disebut periode madinah dan ayat-ayat yang turun pada tahun ini disebut
madaniyah yang berlangsung selama 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari, yaitu sejak awal
bulan rabiul awal 1 hijriah sampai 9 julhijah 10 hijriah. Pada periode ini turunlah surat QS. At-Taubah [9]:
13-14, al-Maidah [5]: 90-91, an-Nur[24]: 27, Ali Imran[3]: 139-140. Yang terpenting pada periode ini adalah
kondisi rasul dan kaum muslimin sudah bebas dan hidup tenang sehingga wahyu
yang turun kebanyakan kandungan isinya mengenai prinsip-prinsip yang mesti
diterapkan untuk mencapai kebahagiaan hidup, sikap atas ahli kitab, orang kafir
ataupun kaum munafik, perintah yang tegas tentang judi dan larangan lainnya,
serta akhlak sehari-hari bagi seorang muslim. Seluruh wahyu al-Qur’an yang
telah diturunkan Allah pada Nabi Muhammad SAW, baik pada periode makkiyah
maupun madaniyah, tidaklah dalam wuyud sebuah kitab (mushaf). Pada masa Rasulullah SAW, ayat-ayat al-Qur’an
dihafal oleh para sahabat dan ditulis diberbagai macam sarana sederhana.
Kemudian baru pada masa Abu Bakar dimulailah pengumpulah ayat-ayat al-Qur’an
dalam satu mushaf oleh panitia yang diketuai Zaid bin Tsabit.
Menurut M.
Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, ajaran-ajaran didalam al-Qur’an
memiliki tiga tujuan pokok, yaitu :
1. petunjuk Akidah dan
kepercayaan yang harus dianut manusia yang tersimpul dalam keimanan akan
keesaan Allah dan kepercayaan bahkan kepastian adanya hari pemalasan.
2. petunjuk mengenai akhlak yang
murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual maupun kolektif.
3. petunjuk mengenai syariat dan
hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikut oleh manusia
dalam hubungannya dengan tuhan dan sesamanya atau dengan kata lain al-Qur’an
adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia kepada jalan yang lurus demi
tercapainya kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
D. Komitmen Seorang Muslim
Terhadap al-Qur’an
sebagai
seorang muslim kita dituntut untuk memiliki komitmen terhadap al-Qur’an, antara
lain :
1. Seorang muslim wajib
mengimani bahwa al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umat manusia (QS. An-Nisa[4]:
136, al-Baqarah[2]: 2).
2. Seorang muslim dituntut untuk
mempelajari al-Qur’an, baik cara membacanya (tilawah),
artinya (tarjamah), dan maksudya (tafsir) (QS. Al-Isra’ [17]: 45,
Al-Anfal [8]: 2, Al-Muzzammil [73]: 4, 20, Muhammad [47]: 24, Ali-Imran [3]: 7)
3. Seorang muslim harus
mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam seluruh kehidupannya, baik kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, negara, maupun kehidupan antar bangsa, baik
aspek ekonomi, politik, budaya, pendidikan, teknologi, maupun aspek yang lain
(QS. Al-Araf [7]: 3, al-Jatsiyah [45]: 7-8, an-Nur [24]: 51, al-Maidah [4]:
44,45,47, an-Nisa [4]: 105).
4. Seorang muslim haruslah
berusaha mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain sehingga mereka dapat memahami dan mengimaniya
(QS. Ali-Imran [3]: 110, 104).
5. Seorang muslim harus berusaha
memahami bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an (QS. Yusuf [12]: 2).
2. Sunah
Secara
etimologi as-sunnah berarti (1) at-tariqah: jalan, cara, metode, baik
jalan yang terpuji maupun jalan yang tercela; (2) as-sirah: perkehidupan, perilaku; (3) lawan atau kebalikan dari makruh; (4) at-tabi’ah: tabiat, watak, perangai; (5) asy-syari’ah: syariat, peraturan, hukum; dan al-hadist: perkataan.
Sedangkan
secara etimologi, menurut ahli usul fikih, sunah diartikan sebagai segala
sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan atau ucapan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan)
yang dijadikan dalil hukum syari’at, disampaikan dengan cara yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil), baik yang berkaitan
dengan hukum maupun tidak, baik yang terjadi sebelum Nabi diangkat sebagai
rasul maupun setelahnya. Sunah lebih dikenal dengan istilah hadist, khabar, atau atsar.
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua
sesudah Al-Qur’an.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti :
1. Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan Zakat
dan lain sebagainya, karena ayat al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara
secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah Sunnah.
2. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk menghindari
penafsiran yang subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Mengikuti pola hidup Nabi, karena dijelaskan secara
rinci dalam Sunnahnya, sedangkan mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah
al-Qur’an.
4. Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis,
karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh Sunnah yang tidak ada
dalam al-Qur’an seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, sedangkan
dalam al-Qur’an menyatakan bahwa bangkai itu haram.
A. Klasifikasi Sunah
sunah
umumnya diklasifikasikan menjadi tiga macam berdasarkan kategori perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1. Sunah Qauliyyah
Sunah
qauliyyah adalah segala ucapan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuknya yang
berkaitan dengan masalah hukum, seperti sabdanya : “innamal a’malu binniyat, wa innama likullimri-in ma nawa... (sesungguhnya
segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya...)”
(HR. Bukhari dan Muslim).
2. Sunah Fi’liyyah
Sunah
fi’liyah merupakan segala perbuatan atau tindakan Nabi Muhammad SAW yang
berkenaan dengan hukum, seperti cara beliau berwudhu, shalat, haji dan lain
sebagainya.
3. Sunah Taqririyah
sunah
taqririyah adalah sesuatu yang berkenaan dengan pesetujuan atau ketetapan Nabi
Muhammad SAW terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan para sahabat
beliau. Taqrir Nabi ini bisa berupa
diamnya beliau tidak melarang dan tidak membantah ataupun berupa pujian atas perkataan
dan perbuatan para sahabat.
Adapun jika
dilihat dari kualifikasi ilmu hadits, maka biasanya sunnah atau hadits
dibedakan:
A. Berdasarkan Jumlah Perawi:
1. Mutawatir,yaitu sunnah atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi (pencerita) pada setiap
tingkatan (tabaqah) dimana mereka
mustahil sepakat untuk berdusta dan riwayat itu harus bersifat inderawi.
2. ahad, yaitu hadits yang jumlah perawinya disetiap tingkat tidak
sampai ketingkat muhtawatir.
B. Berdasarkan Kwalitas Sannad (Jalur Penceritanya) Dan Matan (Teksnya) :
1. sahih, hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, terpecaya,
kuat hafalannya, dan tidak mempunyai cacat dan jalur periwayatnya sampai nabi
2. hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
terpecaya, tidak cacat moral, namun kurang kuat dalam hal hafalannya dan jalur
periwayatannya sampai pada nabi.
3. dhaif, yaitu hadits lemah, yakni hadits yang penceritanya terdapat
cacat, atau periwayatannya tidak sampai nabi.
B. Kedudukan Sunnah Dan Hubungannya Dengan al-Qur’an
fungsi pokok sunnah hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1. bayan tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya umum, tak ada
penjelasannya teknisnya. Misalnya perintah tentang sholat. al-Qur’an hanya memerintahkan
umat islam untuk sholat tetapi tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan
sholat. Dalam hal ini sunnah lah yang menjelaskan bagaimana cara melaksanakan
sholat.
2. bayan taqrir, yaitu memperkokoh dan
memperkuat pernyataan al-Qur’an seperti hadits Nabi yang memerintahkan untuk mulai
berpuasa
pada saat melihat bulan yang menjadi pertanda masuk bulan ramadhan dan menyudahi puasa saat melihat bulan yang menandakan
berakhirnya bulan ramadhan.
3.
bayan taudhi, yaitu menerangkan maksud
dan tujuan suatu ayat seperti pernyataan nabi SAW: “ Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi
baik harta-hartamu
yang sudah dizakatkan”. Perkataan ini menerangkan ayat 34 surat At-taubah
C. PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH
SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sekalipun al-Qur’an dan
as-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya
terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut
:
1. Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya.
Sedangkan Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman
hidup. Sedangkan Tidak seluruh Hadist dapat dijadikan pedoman hidup karena
disamping ada Hadist Shahih, ada pula
Hadist yang Dhaif.
3. Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya.
Sedangkan Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah
aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya.
Sedangkan apabila Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal
yang ghaib, maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya
mengimani al-Qur’an.
5. Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya
didasarkan pada keyakinan yang kuat. Sedangkan penerimaan seorang muslim
terhadap Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang
kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu
benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah
kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana
jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an.
3. IJTIHAD
A. PENGERTIAN
IJTIHAD
Proses
pengambilan suatu produk hukum atau aturan tertentu dari sumber asli ini
disebut dengan ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban”. Karena itu ijtihad menurut bahasa diartikan sebagai usaha yang optimal
dan menanggung beban berat. Kata jahada
juga menunjuk makna kesanggupan, kekuatan dan berat.
Secara
terminologi para ulama mendefinisikan ijtihad dalam beberapa pengertian,
antara lain:
1. Abdul Wahhab mendefinisikan ijtihad dengan mencurahkan segala
kesungguhan untuk mendapatkan syara’ dan dalil yang terperinci dari dalil-dalil syari’ah.
2. Imam asy-Syaukani mengertikan ijtihad dengan mencurakan segalah
kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat amaliah dengan cara
menggunakan istinbat (menggeluarkan
hukum atau aturan dari sumber asli).
3. Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai dengan, mencurahkan segenap
kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zanni (tak pasti maknanya), dalam batas sampai dirinya merasa tidak
mampu melebihi usahanya itu.
4. Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad dengan pencurahan kemampuan seorang
muztahid dalam rangka memperoleh
hukum-hukum syar’i.
5. Abu Zahrah mendefinisikan ijtihad dengan upaya seorang ahli
fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil
dari dalil-dalil yang rinci.
6. Muhammad Abduh memberi pengertian ijtihad dengan suatu cara yang
disyariatkan
untuk menyesuaikan antara perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
7. Ibrahim Abbas Al-Dzarwi mendefinisikan ijtihad dengan pengerahan daya
dan upaya untuk memperoleh maksud.
Berdasarkan
beberapa definisi para ulama diatas, terdapat persamaan dan perbedaan
diantara mereka, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa perbedaan terjadi pada: pertama, terletak pada subjek ijtihad, ada yang menisbatkan
kepada ahli fikih dan sebagaian menisbatkan kepada mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad tidak terbatas
pada fikih tetapi juga menyangkut hal lain. Kedua,
terletak pada metode ijtihad, ada yang menggunakan metode manquli (dari al-Qur’an dan sunnah), sementara sebagian yang lain menggunakan metode ma’quli (penalaran akal).
Adapun
kesamaannya yaitu: pertama, hukum
yang dihasilkan dari ijtihad bersifat zanni (nilai kebenarannya tidak
mutlak), dan kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum
taklifi, yaitu hukum yang berkenaan
dengan amaliah, bukan yang berkenaan dengan akidah. Secara umum ijtihad dapat didefinisikan
sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mengeluarkan suatu hukum atau ajaran
tertentu dari al-Qur’an
dan sunnah dengan syarat dan metode tertentu. Namun yang lebih tepat, ijtihad adalah sebuah alat
untuk merumuskan hukum atau aturan tertentu dari sumber asli islam. Ijtihad
memiliki kesamaan arti dan fungsi dengan istilah Tajdid dapat diartikan sebagai
upaya Purifikasi,
Revitalisasi, Reformulasi dan Modernisasi ajaran-ajaran islam.
Purifikasi artinya pemurnian kembali, yakni mengembalikan ajaran islam sesuai
dengan sumber asli yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Revitalisasi adalah pemaknaan
ajaran islam sehingga berperan nyata dalam kejiwaan orang bersangkutan maupun
dalam kehidupan sosial. Reformulasi adalah penyusunan kembali khasanah keilmuan
islam sesuai dengan kebutuhan zaman. Terakhir, Modernisasi adalah upaya menyelaraskan
ajaran Islam dengan dunia modern
sekaligus mengevaluasi modernisme dengan ajaran Islam.
Macam-macam Ijtihad yang dikenal dalam syariat
islam, yaitu :
1.
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju,
atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli
ijtihad umat Nabi Muhammad SAW. Sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang
hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa,
yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
2.
Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain
dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu
upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai
pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al-Isra
ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua
tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai
memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.
Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu
Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta
yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan, atau dapat diartikan pula
menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya,
menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum
ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.
Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti
kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu
dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist
tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.
Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.
Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup
jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya
larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk
tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar janngan sampai orang
tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.
Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Contohnya,
seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus
berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu
kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.
Urf, Yaitu berupa perbuatan yang dilakukan
terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. adalah dalam hal
jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang
telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.
B. FUNGSI IJTIHAD
1. Memberikan kebebasan berpikir kepada manusia untuk
memecahkan beragam persoalan yang dihadapi dengan akal pikiran yang sesuai
dengan ketentuan hukum Islam
2. Memberikan kebebasan berpikir kepada umat Islam untuk
kembali mengkaji hukum-hukum Islam yang telah lalu sehingga hukum tersebut
tetap dapat digunakan untuk masa kini
3. Agar tidak terjadi kemandekan cara berpikir umat islam
dan menghindari segala bentuk taklid (mengikuti dengan cara apa adanya)
4. Untuk memberi kejelasan hukum terhadap
persoalan-persoalan yang tidak ada ketentuan hukum sebelumnya.
C. Hukum Ijtihad
1.
Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu
tafsir, usul fiqh, dan tarikh (sejarah),
2.
Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan
melakukan qiyas,
3.
Memiliki akhlaqul qarimah.
Ulama berpendapat bahwa jika seorang
muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum syara’ , maka hukum ijtihad bagi orang tersebut bisa wajib
‘ain, wajib kifayah,sunah, atau haram, tergantung pula kapasitas orang
tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, atau ia sendiri yang mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya
dalam nash, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtihad yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu hilang dan selain dia masih
ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib kifayah.
Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah
jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak ada atau belum terjadi.
Keempat,
hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qathi’ , baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah atau
ijtihad yang hukumnya telah ditetapkan secara kesepakatan ijma’.
(Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).
D. KEDUDUKAN IJTIHAD
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijtihad
sebagai sumber hukum Islam yang ketiga terikat dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Yang ditetapkan oleh Ijtihad tidak melahirkan
keputusan yang absolut, sebab Ijtihad merupakan aktivitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan
Ijtihad pun relatif.
2.
Keputusan yang diterapkan oleh Ijtihad mungkin berlaku
bagi seseorang, tetapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa /
tempat, tetapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3.
Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Berijtihad mempertimbangkan faktor motivasi,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa ajaran Islam.
5.
Ijtihad tidak berlaku dalam urusan Ibadah Makhdah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sumber-sumber Islam merupakan
hal yang penting bagi kita, karena sumber Islam merupakan petunjuk kita untuk menjalani
hidup. Adapun yang dinamakan dengan sumber hukum Islam yaitu segala sesuatu
yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat yang apabila di langgar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar