Laman

Jumat, 01 Juli 2016

Perkembangan Emosi Pada Remja

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dengan masa dewasa, sehingga pada masa ini emosi remaja tidak stabil. Masa remaja adalah masa goncang yang terkenal dengan berkecamuknya perubahan-perubahan emosional. Perubahan emosional ini dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri dan faktor dari lingkungan.
Perkembangan emosi remaja merupakan suatu proses menuju kedewasaan. Pada usia remaja cenderung memperhatikan penampilannya dan mulai tertarik denga lawan jenis  sehingga perlu pengawasan dari orang tua agar perkembangan emosi anaknya mengarah pada emosi yang positif.
Seringnya terjadi penyimpangan dalam usia remaja di sekolah sehingga perlu upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan emosi remaja agar emosinya dapat terkontrol dan mengarah ke hal-hal yang positif sehingga dapat memperbaiki moral remaja.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dari emosi ?
b.      Apa saja ciri-ciri emosi remaja ?
c.       Bagaimana karakteristik perkembangan emosi remaja ?
d.      Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja ?

C.    Tujuan
a.       Mengetahui pengertian dari emosi.
b.      Mengetahui bentuk-bentuk dan ciri-ciri emosi.
c.       Mengetahui karakteristik perkembangan emosi remaja.
d.      Mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Emosi
Banyak definisi mengenai emosi yang dikemukakan oleh para ahli. Istilah emosi menurut Sarlito Wirawan Sarwono dalam (Syamsu Yusuf, 2004:15) adalah setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkah lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas.
Sedangkan Hathersall (1985), merumuskan pengertian emosi sebagai situasi psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dri reaksi wajah dan tubuh. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), menurut (Chaliplin, 1989:163) perasaan sebagai pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh perangsang eksternal maupun bermacam-macam keadaan jasmani. (Max Scheber, 1990:79) membagi perasaan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.      Perasaan pengindraan, yaitu yang berhubungan dengan pengindraan misalnya rasa panas, dingin, dll.
2.      Perasaan vital, yaitu yang dialami seseorang yang berhubungan keadaan tubuh, misalnya rasa lelah, lesu, segar, dll.
3.      Perasaan psikis, yaitu perasaan yang menyebabkan perubahan-perubahan psikis, misalnya rasa senang, sedih, dll.
4.      Perasaan pribadi, yaitu perasaan yang dialami seseorang secara pribadi, misalnya terasing, suka, tidak suka.
Perasaan merupakan bagian dari emosi, tidak terdapat perbedaan yang jelas antaraa perasaan dan emosi. Emosi bersifat lebih intens dari perasaan, lebih ekspresif, ada kecenderungan untuk meletus, dan emosi dapat timbul dari kombinasi beberapa perasaan, sehingga emosi mengandung arti yang lebih kompleks dari perasaan dan memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian serta prilaku seseorang.

B.       Bentuk-Bentuk Dan Ciri-Ciri Emosi
Ada beberapa emosi yang begitu kompleks yang telah diidentifikasikan dan dikelompokan oleh Daniel Goleman, yaitu sebagai berikut:
1.      Amarah, di dalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan kebencian.
2.      Kesedihan, didalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
3.      Rasa takut, di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, panik dan fobia.
4.      Kenikmatan, didalamnya meliputi bahagia, gembira, riang, senang, terhibur,  bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas, dan girang.
5.      Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatn, kepercayaan, kebaikan hati,  rasa dekat, bakti,  hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
6.      Terkejut, di dalamnya meliputi terkesiap, takjub dan terpana.
7.      Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka dan mau muntah.
8.      Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, aib, hina, dan hati hancur lebur.

Menurut syamsu yusuf (2004) emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagi berikut:
1.      Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologi lainnya seperti pengamatan dan berfikir
2.      Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
3.      Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Sedangkan menurut Biehler 1972 (Sunarto 2002:155), ia membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu:
1.      Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun:
-          Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
-          Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri
-          Ledakan-ledakan kemarahan mungkin saja terjadi
-          Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
-          Remaja terutama siswa SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif
2.      Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun:
-          Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan / ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
-          Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
-          Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.

C.      Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja
Masa remaja atau masa adolensia merupakan masa peralihan atau masa transisi antara masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perkembangan yang pesat mencapai kematangan fisik, sosial, dan emosi. Perubahan-perubahan fisik yang dialami remaja juga menyebabkan adanya perubahan psikologis. Hurlock (1973:17) disebut sebagai periode heightened emotionality, yaitu suatu keadaan dimana kondisi emosi tampak lebih tinggi  atau tampak lebih intens dibandingkan dengan keadaan normal.
Remaja memiliki karakterisitik pemunculan emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan masa anak-anak maupun dengan orang dewasa. Emosi remaja seringkali meluap-meluap (tinggi) dan emsi negatif mereka lebih mudah muncul. Keadaan ini lebih banyak disebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka dan lingkungan yang menahalangi terpuaskannya kebutuhan tersebut (Hurlock, 1980). Luella Cole (1963) mengemukakan bahwa ada tiga jenis emosi yang menonjol pada periode remaja, yaitu:
1.      Emosi Marah
Emosi marah lebih mudah timbul apabila dibandingkan dengan emosi lainnya dalam kehidupan remaja. Penyebabnya timbulnya emosi marah pada remaja ialah apabila mereka direndahkan, dipermalukan, dihina, atau dipojokan dihadapan kawan-kawannya. Remaja yang sudah cukup matang menunjukan rasa marahnya tidak lagi dengan berkelahi seperti pada masa kanak-kanak sebelumnya. Kadang-kadang juga remaja melakukan tindakan kekerasan dalam melampiaskan emosi marah, meskipun mereka berusaha menekan keinginan untuk bertingkah lak seperti itu. Pada dasarnya remaja cenderung mengganti emosi kanak-kanakan mereka dengan cara yang lebih sopan.

2.      Emosi Takut
Ketakutan yang dialami selama masa remaja dapat dikelompokan sebagai berikut:
a.       Ketakutan terhadap masalah atas sikap orang tua yang tidak adil dan cenderung menolak didalam keluarga
b.      Ketakutan terhadap masalah mendapatkan status baik dalam kelompok sebaya maupun dalam keluarga.
c.       Ketakutan terhadap masalah penyesuaian pendidikan, atau pilihan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan.
d.      Ketakutan terhadap masalah pilihan jabatan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan.

3.      Emosi Cinta
Pada masa remaja , rasa cinta diarahkan kepada lawan jenis. Pada masa bayi rasa cinta diarahkan pada orang tua terutama kepada ibu. Pada masa kanak-kanak (3-5 tahun) rasa cinta diarahkan pada orang tua yang berbeda jenis kelmin, misalnya anak laki-laki akan jatuh cinta pada ibu dan anak permpuan pada ayah. Pada masa remaja arah dan objek cinta itu berubah terhadap teman sebaya yang berlawanan jenis.

D.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
Sejumlah faktor yang memengaruhi perkembangan emosi remaja menurut Ali dan Asrori (2010: 69-71) adalah sebagai berikut:
1.      Perubahan jasmani
Perubahan jasmani yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang.
Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tak terduga pada perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu, lebih-lebih jika perubahan tersebut menyangkut kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan seringkali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.
2.      Perubahan pola interaksi dengan orangtua
Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola suhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta.
Perbedaan pola asuh orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja.
3.      Perubahan interaksi dengan teman sebaya
Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayannya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antaranggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi.

4.      Perubahan pandangan luar
Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam siri remaja, yaitu sebagai berikut:
a.       Sikap luar terhadap remaja sering tidak konsisten
b.      Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan
c.       Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggungjawab, yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut kedalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dann melanggar nilai-nilai norma.

5.      Perubahan interaksi dengan sekolah
Pada masa anak-anak, sebelum menginjak masa remaja, sekolah merupakan tempat pendidikan yang diidealkan oleh mereka. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, tidak jarang anak-anak lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih tajut kepada guru daripada orangtuanya. Posissi guru semacam ini sangat strategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melaluui penyamaian materi-materi yang positif.

Pada  dasarnya perkembangan emosi remaja dipengaruhi  oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Perubahan jasmani termasuk kedalam faktor internal dan perubahan pola interaksi dengan orang tua, perubahan interaksi dengan teman sebaya, perubahan pandangan luar, perubahan interaksi dengan sekolah merupakan faktor eksternal.

DAFTAR PUSTAKA
 Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Rosda Karya.
Hurlock, E. 2002. Psikologi perkembaangan. Jakarta:Erlangga.


Resume Edward Said - Peran Intelektual

Julien Benda mendefinisikan intelektual sebagai segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf raja. Mereka ini yang membangun kesadaran untuk manusia. La trahison des clerc (pengkhianatan kaum intelektual) merupakan kecaman atas intelektual yang tidak mengabaikan panggilan serta telah mengkompromikan prinsip-prinsip mereka. Julien menyebut segelintir nama dan karakteristik utama dari mereka yang dianggap sebagai intelektual sejati. Intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat, karena apa yang mereka junjung adalah standar kebenaran dan keadilan abadi.
Karya termasyhur Julien Benda The Treason of the Intellectualls mengesankan bahwa intelektual ada dalam ruang universal, tidak terikat baik oleh batasan negara maupun identitas etnik.
Dalam derajat tertentu, fokus yang menyempit serta lokalisasi cara pandang terhadap intelektual juga berkaitan dengan berbiaknya studi-studi khusus, yang bisa dianggap sebagai penyebab perkembangan peran intelektual dalam kehidupan modern.
Pada masa pramodern pengusiran menjadi hukuman paling mengerikan karena tidak hanya bertahun-tahun berpisah dengan sanak saudara  dan tempat-tempat yang akrab, tetapi juga menjadi paria secara permanen. Di abad 20, makna pengasingan telah bergeser dari pengucilan yang terkadang eksklusif, penghukuman individu-individu istimewa seperti penyair akbar  Latin Ovid yang diusir dari Roma ke kota terpencil di Laut Hitam, menjadi hukuman paling kejam seluruh masyarakat atau bangsa. Pengasingan tak jarang merupakan akibat sampingan dari kekuatan-kekuatan impersonal semacam perang, bahaya kelaparan atau penyakit. Individu-individu merasa asing dengan masyarakat mereka dan karena itu menjadi kaum pinggirandan pengasingan kalau dilihat dari segi pemilikan, kuasa, dan kehormatan.
Pola yang menetapkan intelektual sebagai orang luar dengan baik diperlihatkan oleh kondisi pengasingan, keadaan yang tak pernah sepenuhnya bisa menyesuaikan diri, senantiasa merasa di luar dunia tidak formal dan tidak asing lagi didiami oleh kaum pribumi, cenderung menghindari bahkan tidak menyukai atribut nasional.
Pengasingan bagi kaum intelektual dalam artian metafisis ini keresahan, pergerakan, guncangan dan mengusik yang lain. Kita tidak bisa kembali ke posisi semula dan mungkin kondisi yang lebih stabil tertinggal di negeri sendiri. Dan sayangnya, kita tidak pernah benar-benar tiba dirumah atau di situasi baru.
Pada sekitar tahun 1968 para intelektual berpaling dari para penerbitnya. Kini mereka ke media massa dengan menjadi jurnalis, tamu dan pembawa acara talkshow, penasihat, manajer dan sebagainya. Mereka tidak hanya mempunyai audiens yang sangat besar, tapi juga segenap kerja mereka sebagai intelektual tergantung kepada pemirsa atau pembacanya. Media massa telah mengurangi sumber-sumber legitimasi intelektual, mengitari inteligensi profesional, sumber klasik legitimasi dengan lingkup konsentrasi yang lebih luas.
Intelektual saat ini harus menjadi amatir, seseorang yang menganggap bahwa dengan menjadi anggota masyarakat yang berpikir serta hirau, orang tersebut berhak memunculkan isu moral dalam kegiatan yang paling teknis dan profesional sekalipun, yang melibatkan sebuah negara, kekuasaanya, caranya berinteraksi dengan warga negaranya, seperti halnya dengan masyarakat lain.
Di sisi lain, jika memandang intelektual individu sebagai sebuah sosok sempurna, ksatria terkemuka yang begitu murni dan berbudi. Amat sempurnanya, sehingga akan menepis kecurigaan bahwa ia mempunyai kepentingan materil.
Kenyataannya intelektual tak harus terbebas dari kontroversi dan figurnya aman sebagaimana seorang teknisi yang bersahabat. Dalam kasus tertentu, intelektual dianggap orang yang suaranya mengobarkan dekat dan jika mungkin kontroversi.
Model intelektual dahulu kala menurut Jacoby terdiri dari segelintirnama yang sebagian besar tinggal di Greenwich Village (Latin Quarter-nya New York) aawal abad ini. Secara umum mereka dikenal sebagai intelektual New York. Sebagian besar mereka adalah Yahudi, sayap kiri (tapi umumnya anti-komunis), dan hidup dari tulisannya.
Akibatnya, intelektual sekarang lebih merupakan profesor yang tertutup dengan penghasilan yang terjamin dan tak berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah. Di samping itu, menjadi intelektual nukanlah sama sekali tidak konsekuen kalau juga menjadi akademis atau pianis.
Pertama-tama saya pikir keliru kalau membuat perbandingan yang menyakitkan tentang universitas, atau bahkan perihal Amerika Serikat. Ada periode di Perancis tak lama setelah Perang Dunia II ketika segelintir intelektual independen terkemuka semacam Sartre, Camus, Aron, de Beauvoit tampak mewakili ide klasik intelektual yaitu yang merupakan cetak biru dari raksasa abad ke-19 (ini sering hanya mitos). Tetapi yang tak disinggung Jacoby adalah pekerjaan intelektual pada abad ke-20 yang tak hanya berpusat pada debat publik dan mangangkat polemik seperti yang dikatakan Julien Benda atau mungkin diperlihatlan oleh Bertrand Rusell dan sejumlah intelektual Bohemian New York.
Persoalan kaum intelektual adalah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalisasi modern seperti yang telah didiskusikan. Bukan dengan berpura-pura Bahwa mereka tidak disana atau mengingkari pengaruhnya. Tetapi dengan mempresentasikan nilai dan hak khusus yang berbeda. Semua ini dihimpun menjadi sesuatu yang disebut amatirisme. Yang secara harfiah berati aktivitas yang digerakkan oleh kepeduliandan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Dalam cara yang lebih konsistendan berkesinambungan, para intelektual yang dekat dengan perumusan kebijakan dan dapat mengontrol patronase pemberian pekerjaan, upah, promosi, cenderung memantau individu-individu yang berpijak pada garis profesionalisme dan yang di mata atasan mereka secara bertahap memancarkan suasana kontroversi dan tidak bekerja sama.
Intelektual bukanlah seorang fungsioner atau pegawai yang sepenuhnya taat kepada kebijakan pemerintah, perusahaan raksasa atau gilda orang yang berpikiran seakan profesional. Dalam situasi ini godaan untuk menafikan moral atau berpikir sepenuhnya berdasarkan spesialisasi, atau membatasi skeptisisme demi konformitas, terlalu besar untuk dipercayai. Banyak intelektual yang sepenuhnya mengalah kepada godaan ini.
Kegiatan utama intelektual di abad kita ini adalah mempertanyakan, untuk tidak mengatakan menggerogoti otoritas. Jadi, kita harus meengatakan bahwa yang tak muncul hanya konsesus tentang apa yang membangun realitas objektif, tetapi banyak otoritas tradisional, termasuk Tuhan, yang terhanyut.
Salah satu yang terkotor dari seluaruh langkah awal intelektual adlah mencela penyalahgunaan dalam kultur seseorang sembari memaafkan praktek serupa dinegeri sendiri. Contoh klasiknya adalah intelektual cemerlang dari Perancis abad ke-19, Alexis de Tocqueville. Bagi sebagian besar kita yang dididik agar mempercayai nilai-nilai klasik demokrasi liberal dan Barat, Tocqueville menjadi contoh bahwa nilai-nilai tesebut hampir di atas kertas saja.
Bagi seorang intelektual yang tinggal di Amerika, ada realitas yang dihadapi. Katakanlah bahwa negri kita mempunyai masyarakat imigran yang sangat majemuk dengan sumber daya dan penyelesaian yang fantastis.
Dalam hal ini arti intelektual sebuah situasi diperoleh dengan membandingkan pengetahuan serta fakta yang tersedia dengan sebuah norma yang juga diketahui dan tersedia. Ini bukanlah tugas yang enteng. Karena dokumentasi, riset, pembuktian, diperlukan agar mendapatkan informasi yang tak sekadar serpihan-serpihan, pecahan.
Dalam pandangannya tak ada yang lebih patut dicela daripada kebiasaan dalam benak intelektual yang menyebabkan penghindaran yang karakteristiknya berpaling dan sebuah posisi sulit dan prinsipil.
Bagi seorang intelektual, kebiasaan pikiran ini adalah korupsi dalam bentuk tertinggi. Jika ada yang dapat diubah bentuknya, dinetralisasi dan akhirnya membunuh kehidupan intelektual yang bergairah, itu adalah internalisasi kebiasaan semacam itu.
Setiap intelektual yang urusannya adalah mengartikulasikan dan merepresentasikan pandangan, ideologi khusus, secara logis ingin mewujudkan gagasannya dalam masyarakat. Kaum intelektual yang mengklaim hanya menulis untuk dirinya sendiri atau hanya untuk belajar semata atau ilmu pengetahuan abstrak, tidaklah dipercaya dan harus tidak dipercaya. Seperti dikatakan oelh penulis besar abad ke 20, Jean Genet, pada saat anda mempublikasikan esai kepada masyarakat, anda telah memasuki kehidupan politik. Jadi jika tidak ingin politis, janganlah menulis esai atau berbicara.

Intelektual yang benar adalah yang sekuler. Namun, banyak intelektual berpura-pura bahwa peran mereka adalah sesuatu yang lebih tinggi, nilai pamungkas, moralitas bermula dengan aktivitas mereka dalam dunia sekuler, kepentingan siapa yang dilayani, bagaimana ia membedakan antara kekuasaan dan keadilan, apa yang ia ungkapkan sehubungan dengan pilihan dan prioritas seseorang.

proposal

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal di  suatu wilayah Indonesia secara permanen, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini mungkin sering terjadi secara bersamaan.[1]
Mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam  di Nusantara, para ahli dan ilmuan sepakat bahwa Islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa muslim Nusantara untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaannya yang lama. Hal ini sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa yang terkenal  dengan sebutan walisongo, mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Di samping itu, mereka juga menggunakan jimat, pesona ilmu kesaktian, dan keahlian supranatural lainnya unuk mengajak mereka memeluk agama Islam.[2]
Namun, selain menyebarkan ajaran agama Islam, para walisongo juga memiliki peran penting dalam hal pemerintahan dan politik kerajaan-kerajaan Islam di Jawa serta perkembangan kebudayaan masyarakat.
  
1.2  Rumusan Masalah
1.      Siapakah walisongo tersebut?
2.      Bagaimana peranan walisongo dalam bidang sosial budaya?
3.      Bagaimana peran dan kedudukan walisongo dalam bidang politik?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui siapakah wali songo
2.      Untuk mengetahui peran wali songo dibidang sosial budaya
3.      Untuk mengetahui peran dan kedudukan wali songo dalam bidang politik

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Teori Masuknya Islam di Nusantara :
1.      Teori Gujarat
Teori Gujarat adalah teori masuknya Islam ke Nusantara yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel. Dalam teori ini, Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Arab, karena sedikitnya fakta yang menyebutkan peranan bangsa Arab dalam  penyebaran agama Islam ke Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.[3]
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan mazhab Syafi‟i antara di anak Benua India dengan Indonesia. Orang Arab yang bermazhab Syafi;i bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam ke Nusantara. Jadi, ia berpendapat bahwa Islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab, tetapi bukan datang langsung dari Arab, melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar.[4]
Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Nusantara ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa Batu Nisan Sultan Samudra Pasai Malik As-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori Gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Nusantara pada awal berkembangnya Islam.
2.      Teori Persia
Teori Persia adalah teori masuknya Islam ke Nusantara yang dikemukakan oleh Hoessein Djajadiningrat. Dalam teori ini dikemukakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara adalah Islam yang berasal dari Persia (Iran). Islam diyakini dibawa oleh para pedagang Persia mulai pada abad ke 13 M di Sumatra dan berpusat di Samudra Pasai.[5]
Teori Persia berlandaskan pada bukti maraknya paham Syiah pada awal masuknya Islam ke Nusantara. Selain itu, ada kesamaan tradisi budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Nusantara. Peringatan 10 Muharam atau hari Asyura di Iran dengan upacara Tabuik atau Tabut di Sumatra Barat dan Jambi sebagai lambang mengarak jasad Husein  bin Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dalam peristiwa  Karbala menjadi salah satu contohnya.[6] Bahkan kuatnya tradisi Syiah masih terasa hingga saat ini.
Adanya suku Leran dan Jawi di Persia menunjukkan bukti bahwa orang-orang Persia yang membawa Islam ke Nusantara. Suku ini disinyalir merujuk pada orang-orang Leran dari Gresik dan suku Jawa. Selain itu, dalam suku Jawa dikenal dengan tradisi penulisan Arab Jawa atau Arab Pegon sebagaimana diadopsi oleh masyarakat Persia atas tulisan Arab. Hal ini diperkuat dengan istilah “Jer” yang lazim digunakan masyarakat Persia.

3.      Teori Arab
Teori ini dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold. Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam  Nusantara juga berasal dari Arab. Bukti yang ia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara, yaitu mazhab Syafi‟i. Mazhab ini dibawa oleh pedangang yang juga menyebarkan agama Islam yang mempunyai peran penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara.[7] Arnold juga berpendapat bahwa pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Sebuah sumber Cina menyebutkan menjelang perempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatra. Mereka melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat, sehingga munculah komunitas muslim.[8]
Berdasarkan teori Arab ini, masuknya Islam ke nusantara diyakini berasal dari Arab, yaitu Mekkah dan Madinah pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Pendapat ini didasarkan pada adanya bukti perkampungan Islam di pantai Barus, Sumatra Barat, yang dikenal sebagai Bandar Khalifah. Wilayah ini disebut dengan wilayah Ta-shih. Ta-shih adalah sebutan orang-orang China untuk orang Arab. Bukti ini terdapat dalam dokumen dari China yang diitulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip catatan seorang ahli geoggrafi, Chou Ku-Fei. Dia mengatakan adanya pelayaran dari wilayah Ta-shih yang  berjarak lima hari perjalanan ke Jawa.
Dalam dokumen China keberadaan komunitas muslim Arab di pantai Barus tercatat sekitar tahun 625 M. Menilik tahun tersebut, berarti hanya sembilan tahun dari rentang waktu ketika Rasulullah menetapkan dakwah Islam secara terbuka kepada penduduk Mekkah. Beberapa sahabat telah berlayar dan membentuk perkampungan Islam di Sumatra. Pelayaran ini sangat mungkin terjadi mengingat adanya perintah Rasulullah agar kaum muslimin menuntut ilmu ke Negeri China. Hal ini berarti, Islam masuk ke Nusantara saat Rasulullah masih hidup.
Bukti arkeologis juga ditemukan di Barus, berupa sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus. Pada salah satu batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 M. Para arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient Prancis dan pusat penelitian arkeologi Nasional menyatakan bahwa sekitar abad 9 sampai 12 M, Barus menjadi sebuah perkampungan dari berbagai  suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Bugis dan Bengkulu.
Bukti lain yang mendukung teori masuknya Islam ke nusantara adalah munculnya Kerajaan Islam pertama yaitu Kerajaan Perlak yang diteruskan oleh Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai adalah Kerajaan bercorak paham Syafi’i yang kala itu dianut banyak penduduk Mesir dan Mekkah.
Menurut Azyumardi Azra ada empat hal yang disampaikan oleh histografi tradisional berkaitan dengan islamisasi Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam dibawa oleh juru dakwah yang  profesional. Ketiga, yang pertama kali masuk Islam adalah berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah datang ke Nusantara pada abad ke-12 M dan ke-13 M. Tetapi baru abad ke-12 M sampai abad ke-16 M pengaruh Islam di Nusantara tampak jelas dan kuat.[9]

B.     Definisi Walisongo menurut para ahli :
1.      Menurut Soekomono, pakar purbakala dan sejarah kebudayaan dari UGM, Walisongo (sembilan orang waliyullah) adalah penyiar penting agama-agama Islam di Jawa. Mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam di tanah Jawa.[10]
2.      Prof. K.H.R Adnan berpendapat bahwa kata songo dalam wali songo merupakan perubahan kerancuan pengucapan dari kata bahasa Arab, yakni tsana yang berarti mulia yang diucapkan menjadi “sana”, yang sepadan dengan kata Mahmud (mulia), sehingga menurutnya pengucapan yang benar bukan wali songo, akan tetapi wali sana, yang berarti wali-wali Allah yang terpuji.[11]
3.      R. Tanojo dalam kitab walisana menegaskan bahwa istilah yang benar untuk wali songo adalah walisana, namun sana bukan berasal dari bahasa arab, akan tetapi berasal dari bahasa yang sama seperti songo, yakni bahasa jawa yang bermakna tempat, daerah, dan wilayah.[12]














Daftar Pustaka

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung :
Mizan, 2002.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Bandung : Mizan, 1996.
Hosein Djajadiningrat, Islam di Indonesia, Djakarta : PT Pembangunan, 1963.
T.W.Arnold, The Preaching of Islam, London : Constable, 1931.
Hamka, Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara,
Gema Islam, 1963.
diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 15.00 WIB.
walisongo.html, pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 20.00 WIB.


[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991),hlm. 3
[2] Azyumardi Azra, Islam Nusantara:Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan,2002), hlm. 20-21.
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 75.
[4] Azyumardi Azra, Op.cit, hlm. 24.
[5] .A. Hosein Djajadiningrat, Islam di Indonesia (Djakarta : PT Pembangunan, 1963) hlm. 99-140
[6]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 90-92.
[7] T.W.Arnold, The Preaching of Islam (London : Constable, 1931), hlm.364-365.
[8] Ibid.,
[9] Hamka, Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatera utara (Gema Islam, 1963) hlm.29-30.
[10] Fitwiethayalisyi, “wali songo (nine wali)” diunduh dari  https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/bascame-ilmu/walisongo-nine-wali/ pada tanggal 23 Mei 2016.
[11] Abi, “Pengertian Wali dalam Walisongo” diunduh dari http://legalstudies71.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-wali-dalam-walisongo.html, pada tanggal 23 Mei 2016
[12] Abi, Loc.it