Laman

Jumat, 01 Juli 2016

proposal

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal di  suatu wilayah Indonesia secara permanen, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini mungkin sering terjadi secara bersamaan.[1]
Mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam  di Nusantara, para ahli dan ilmuan sepakat bahwa Islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa muslim Nusantara untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaannya yang lama. Hal ini sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa yang terkenal  dengan sebutan walisongo, mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Di samping itu, mereka juga menggunakan jimat, pesona ilmu kesaktian, dan keahlian supranatural lainnya unuk mengajak mereka memeluk agama Islam.[2]
Namun, selain menyebarkan ajaran agama Islam, para walisongo juga memiliki peran penting dalam hal pemerintahan dan politik kerajaan-kerajaan Islam di Jawa serta perkembangan kebudayaan masyarakat.
  
1.2  Rumusan Masalah
1.      Siapakah walisongo tersebut?
2.      Bagaimana peranan walisongo dalam bidang sosial budaya?
3.      Bagaimana peran dan kedudukan walisongo dalam bidang politik?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui siapakah wali songo
2.      Untuk mengetahui peran wali songo dibidang sosial budaya
3.      Untuk mengetahui peran dan kedudukan wali songo dalam bidang politik

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Teori Masuknya Islam di Nusantara :
1.      Teori Gujarat
Teori Gujarat adalah teori masuknya Islam ke Nusantara yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel. Dalam teori ini, Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Arab, karena sedikitnya fakta yang menyebutkan peranan bangsa Arab dalam  penyebaran agama Islam ke Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.[3]
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan mazhab Syafi‟i antara di anak Benua India dengan Indonesia. Orang Arab yang bermazhab Syafi;i bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam ke Nusantara. Jadi, ia berpendapat bahwa Islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab, tetapi bukan datang langsung dari Arab, melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar.[4]
Berdasarkan teori ini, masuknya Islam ke Nusantara ini diyakini berasal dari Gujarat karena didasarkan pada adanya bukti berupa Batu Nisan Sultan Samudra Pasai Malik As-Saleh berangka tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Selain itu, teori Gujarat juga didasarkan pada corak ajaran Islam yang cenderung memiliki warna tasawuf. Ajaran ini dipraktikan oleh orang muslim di India Selatan, mirip dengan ajaran Islam di Nusantara pada awal berkembangnya Islam.
2.      Teori Persia
Teori Persia adalah teori masuknya Islam ke Nusantara yang dikemukakan oleh Hoessein Djajadiningrat. Dalam teori ini dikemukakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara adalah Islam yang berasal dari Persia (Iran). Islam diyakini dibawa oleh para pedagang Persia mulai pada abad ke 13 M di Sumatra dan berpusat di Samudra Pasai.[5]
Teori Persia berlandaskan pada bukti maraknya paham Syiah pada awal masuknya Islam ke Nusantara. Selain itu, ada kesamaan tradisi budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Nusantara. Peringatan 10 Muharam atau hari Asyura di Iran dengan upacara Tabuik atau Tabut di Sumatra Barat dan Jambi sebagai lambang mengarak jasad Husein  bin Ali bin Abi Thalib yang terbunuh dalam peristiwa  Karbala menjadi salah satu contohnya.[6] Bahkan kuatnya tradisi Syiah masih terasa hingga saat ini.
Adanya suku Leran dan Jawi di Persia menunjukkan bukti bahwa orang-orang Persia yang membawa Islam ke Nusantara. Suku ini disinyalir merujuk pada orang-orang Leran dari Gresik dan suku Jawa. Selain itu, dalam suku Jawa dikenal dengan tradisi penulisan Arab Jawa atau Arab Pegon sebagaimana diadopsi oleh masyarakat Persia atas tulisan Arab. Hal ini diperkuat dengan istilah “Jer” yang lazim digunakan masyarakat Persia.

3.      Teori Arab
Teori ini dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold. Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam  Nusantara juga berasal dari Arab. Bukti yang ia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara, yaitu mazhab Syafi‟i. Mazhab ini dibawa oleh pedangang yang juga menyebarkan agama Islam yang mempunyai peran penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara.[7] Arnold juga berpendapat bahwa pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Sebuah sumber Cina menyebutkan menjelang perempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatra. Mereka melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat, sehingga munculah komunitas muslim.[8]
Berdasarkan teori Arab ini, masuknya Islam ke nusantara diyakini berasal dari Arab, yaitu Mekkah dan Madinah pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Pendapat ini didasarkan pada adanya bukti perkampungan Islam di pantai Barus, Sumatra Barat, yang dikenal sebagai Bandar Khalifah. Wilayah ini disebut dengan wilayah Ta-shih. Ta-shih adalah sebutan orang-orang China untuk orang Arab. Bukti ini terdapat dalam dokumen dari China yang diitulis oleh Chu Fan Chi yang mengutip catatan seorang ahli geoggrafi, Chou Ku-Fei. Dia mengatakan adanya pelayaran dari wilayah Ta-shih yang  berjarak lima hari perjalanan ke Jawa.
Dalam dokumen China keberadaan komunitas muslim Arab di pantai Barus tercatat sekitar tahun 625 M. Menilik tahun tersebut, berarti hanya sembilan tahun dari rentang waktu ketika Rasulullah menetapkan dakwah Islam secara terbuka kepada penduduk Mekkah. Beberapa sahabat telah berlayar dan membentuk perkampungan Islam di Sumatra. Pelayaran ini sangat mungkin terjadi mengingat adanya perintah Rasulullah agar kaum muslimin menuntut ilmu ke Negeri China. Hal ini berarti, Islam masuk ke Nusantara saat Rasulullah masih hidup.
Bukti arkeologis juga ditemukan di Barus, berupa sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus. Pada salah satu batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 M. Para arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient Prancis dan pusat penelitian arkeologi Nasional menyatakan bahwa sekitar abad 9 sampai 12 M, Barus menjadi sebuah perkampungan dari berbagai  suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Bugis dan Bengkulu.
Bukti lain yang mendukung teori masuknya Islam ke nusantara adalah munculnya Kerajaan Islam pertama yaitu Kerajaan Perlak yang diteruskan oleh Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai adalah Kerajaan bercorak paham Syafi’i yang kala itu dianut banyak penduduk Mesir dan Mekkah.
Menurut Azyumardi Azra ada empat hal yang disampaikan oleh histografi tradisional berkaitan dengan islamisasi Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam dibawa oleh juru dakwah yang  profesional. Ketiga, yang pertama kali masuk Islam adalah berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah datang ke Nusantara pada abad ke-12 M dan ke-13 M. Tetapi baru abad ke-12 M sampai abad ke-16 M pengaruh Islam di Nusantara tampak jelas dan kuat.[9]

B.     Definisi Walisongo menurut para ahli :
1.      Menurut Soekomono, pakar purbakala dan sejarah kebudayaan dari UGM, Walisongo (sembilan orang waliyullah) adalah penyiar penting agama-agama Islam di Jawa. Mereka dengan sengaja menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam di tanah Jawa.[10]
2.      Prof. K.H.R Adnan berpendapat bahwa kata songo dalam wali songo merupakan perubahan kerancuan pengucapan dari kata bahasa Arab, yakni tsana yang berarti mulia yang diucapkan menjadi “sana”, yang sepadan dengan kata Mahmud (mulia), sehingga menurutnya pengucapan yang benar bukan wali songo, akan tetapi wali sana, yang berarti wali-wali Allah yang terpuji.[11]
3.      R. Tanojo dalam kitab walisana menegaskan bahwa istilah yang benar untuk wali songo adalah walisana, namun sana bukan berasal dari bahasa arab, akan tetapi berasal dari bahasa yang sama seperti songo, yakni bahasa jawa yang bermakna tempat, daerah, dan wilayah.[12]














Daftar Pustaka

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung :
Mizan, 2002.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Bandung : Mizan, 1996.
Hosein Djajadiningrat, Islam di Indonesia, Djakarta : PT Pembangunan, 1963.
T.W.Arnold, The Preaching of Islam, London : Constable, 1931.
Hamka, Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara,
Gema Islam, 1963.
diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 15.00 WIB.
walisongo.html, pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 20.00 WIB.


[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991),hlm. 3
[2] Azyumardi Azra, Islam Nusantara:Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan,2002), hlm. 20-21.
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 75.
[4] Azyumardi Azra, Op.cit, hlm. 24.
[5] .A. Hosein Djajadiningrat, Islam di Indonesia (Djakarta : PT Pembangunan, 1963) hlm. 99-140
[6]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejaran : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 90-92.
[7] T.W.Arnold, The Preaching of Islam (London : Constable, 1931), hlm.364-365.
[8] Ibid.,
[9] Hamka, Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatera utara (Gema Islam, 1963) hlm.29-30.
[10] Fitwiethayalisyi, “wali songo (nine wali)” diunduh dari  https://fitwiethayalisyi.wordpress.com/bascame-ilmu/walisongo-nine-wali/ pada tanggal 23 Mei 2016.
[11] Abi, “Pengertian Wali dalam Walisongo” diunduh dari http://legalstudies71.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-wali-dalam-walisongo.html, pada tanggal 23 Mei 2016
[12] Abi, Loc.it

Tidak ada komentar: