Laman

Jumat, 17 Juni 2016

Pluralisme Studi Kerajaan Islam di Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN 
1.1   Latar Belakang
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Agama Islam lebih banyak dianut oleh masyarakat yang terdapat di bagian barat Nusantara. Agama islam dengan mudah diterima dan dianut oleh para raja kerajaan-kerajaan di Nusantara. Akibatnya, rakyat yang berada pada wilayah kekuasaannya mengikuti kepercayaan rajanya.
Adapun masyarakat adalah suatu kesatuan kehidupan sosial manusia yang menempati wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan mengatur kehidupannya. Tekanannya disini terletak pada adanya pranata sosia, tanpa pranata sosial kehidupan bersama didalam masyarakat tidak mungkin dilakukan secara teratur. Pranata sosial disini dimaksudkan sebagai perangkat peraturan yang mengatur peranan serta hubungan antar anggota masyarakat, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.
Pluralisme adalah suatu istilah yang sudah tidak asing kita dengar dalam kehidupan kita. Kehidupan yang beraneka ragam suku, bangsa, kebudayaan, maupun agama. Pandangan arti pluralisme secara umum diartikan sebagai kejamakan, kemajemukan. Pandangan yang mengatasnamakan perbedaan. Pandangan para filosofis terhadap pluralisme mengungkapkan pengartian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Anaxagotas ia berpandangan bahwa pluralisme sebagai jumlah yang berbeda secara kualitatif yang tidak ada batasnya. Dan menurut pandagan sosial pluralisme dipandang sebagai hubungan ketergantungan dari beberapa aspek. Bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting dan mungkin merupakan kunci utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Sedangkan, pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah suatu keadaan masyarakat yang majemuk yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politiknya. Sehingga menimbulkan sikap saling ketergantungan, yang menimbulkan sikap saling menghargai, menghormati satu sama lain.

1.2   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pluralisme?
2.      Bagaimana karakteristik dan ciri-ciri pluralisme?
3.      Bagaimana perkembangan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh, dan Kerajaan Goa dan Talo?
4.      Hal-hal yang mempengaruhi pluralisme pada Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo?
5.      Bagaimana perbedaan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo?

1.3   Tujuan penulisan masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian pluralisme.
2.      Untuk mengetahui karakteristik dan ciri-ciri pluralisme.
3.      Untuk mengetahui pluralisme perkembangan di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.
4.      Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi pluralisme pada Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.
5.      Untuk mengetahui perbedaan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1       Pengertian Pluralisme menurut beberapa tokoh
Pluralisme berasal dari kata Inggris, yaitu “Pluralism”, jamak pluralis. Dapat dicirikan sebagai berikut :
1.      Realita fundamental bersifat jamak. Berbeda dengan dualism yang mengatakan bahwa realita fundamental terdiri dari dua komposisi dan monoisme menyatakan bahwa realita fundamental hanya ada satu.
2.      Adanya banyak tingkatan hal – hal dalam alam semesta yang terpisah dan tidak dapat diredusir dan pada dirinya independen.
3.      Alam semesta pada dasarnya tidak ditentukan dalam bentuk tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.[1]
Salah satu tokoh muslimah Indonesia Cak Nur berpendapat mengenai pengertian pluralisme adalah sebuah landasan yang sifatnya positif dalam menerima adanya kemajemukan semua hal dalam aspek kehidupan sosial budaya, yang di dalamnya tedapat agama. Pandangan pengertian dari pluralisme menurut kacamata filosofi adalah sebuah sistem pemikiran yang menyatakan adanya landasan pemikiran yang mendasar atau lebih dari satu. Sedangkan menurut sosio politik pluralisme adalah suatu sistem yang mengakui adanya sebuah keberadan adanya kelompok keagamaan, baik yang berisi mengenai ras, suku dan bahkan aliran kepercayaan, partai dengan tetap menjunjung tinggi adanya aspek aspek perbedaan karakteristik di antara kelompok kelompok tersebut. Maka, pendapat yang terakhir tersebutlah yang seringkali di pakai dalam kaitannya masyarakat kita Indonesia ini.  Yang banyak mengatas namakannya dan akhirnya akan berujung dengan adanya sebuah konflik dan lain-lainnya, maka untuk  itulah dengan konsep pluralisme diatas maka semua orang dapat menghargai satu sama lainnya.
Dari beberapa definisi di atas dikatakan bahwa pluralisme merupakan suatu paham tentang kemajemukan yang dimana terdapat beraneka ragam ras dan agama yang hidup berdampingan dalam suatu lokasi. Di sini pluralisme tidak hanya sekedar hidup berdampingan tanpa mempedulikan orang lain. Tetapi, hal itu membutuhkan ikatan, kerjasama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralisme.

2.2       Karakteristik dan Ciri-Ciri Pluralisme
Ciri-ciri Pluralisme :
1.      Ethnisiti dan perbedaan etnik merupakan ciri utama masyarakat majemuk.
2.      Setiap kelompok etnik mengamalkan budaya masing-masing (termasuk agama, bahasa, adat, dan lain-lain)
3.      Secara teorinya trend budaya satu-satu kelompok etnik itu tidak bercampur aduk dengan trend budaya kelompok etnik lain walaupun sedikit sebanyak berlaku pinjam meminjam budaya (cultural borrowing).
4.      Semua kelompok etnik yang berbeda itu berhubungan dan berkerjasama antara satu sama lain dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dll, dengan masing-masing mempunyai serta menjaga kepentingan tersendiri.
5.      Semua kelompok etnik menjadi warganegara serta mendukung undang-undang negara yang sama[2]
Karakteristik masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van Den Berghe :
1.      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer
3.      Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhdapa nilai-nilai yang bersifat dasar
4.      Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
5.      Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.[3]
Oleh karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang terdiferensiasi atau spesialisasi yang tinggi.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1       Perkembangan Pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
Plurarisme merupakan kerangka dimana ada interaksi dibeberapa kelompok-kelompok  yang menunjukan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Perkembangan Pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo, dapat di lihat dari masing-masing kehidupan di kerajaan tersebut, antara lain:
1.      Kerajaaan Pajang
a.       Sistem Politik
Setelah Sultan Trenggono meninggal, Demak dilanda perang saudara antara Pangeran Prawoto (anak Trenggono) dengan Pangeran Sekar Sedo Lepen (adik Trenggono) dan dimenangkan Prawoto. Aryo Penangsang, anak Pangeran Sedo Lepen tidak dapat menerima kematian ayahnya. Kemudian Aryo Penangsang membunuh Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pangeran Prawoto mempunyai putra bernama Arya Pangiri. Dengan bantuan Joko Tingkir (adik ipar Trenggono), Arya Pangiri membalas kematian ayahnya. Kemudian Joko Tingkir naik takhta dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang pada 1552. Joko Tingkir menjadi raja pertama Kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Adiwijaya.
     Pengangkatan Joko Tingkir sebagai raja Pajang disahkan oleh Sunan Giri dan mendapat pengakuan para adipati di Jawa. Saat itu Demak hanya sebagai daerah kecil yang dipimpin Arya Pangiri. Di antara pengikut Adiwijaya, yang dianggap berjasa adalah Kyai Gede Pemanahan. Kyai ini diberi hadiah tanah pemukiman di Mataram (Kota-Gede, Yogyakarta). Kyai Gede Pemanahan dianggap sebagai perintis berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kyai Gede Pemanahan meninggal pada 1575 dan diganti putranya yang bemama Sutawijaya.
     Joko Tingkir wafat pada 1582 dan digantikan putranya, yaitu Pangeran Benowo. Beberapa lama kemudian Pangeran Benowo disingkirkan Arya Pangiri (anak Prawoto dari Demak). Kerajaan Pajang kemudian diperintah Arya Pangiri, namun ia tidak disukai rakyat sehingga timbul perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Benowo dengan dibantu Sutawijaya. Perlawanan itu berhasil, kemudian Sutawijaya naik takhta dan memindahkan pusat pemerintahan ke Mataram.

b.      Sistem Sosial
Tradisi Hindu masih memiliki pengaruh yang sangat besar di kerajaan Pajang. Karena di daerah agraris pedalaman, tradisi Hindu masih sangat kuat dipegang dan pengaruh Islam hanya terbatas pada kalangan tertentu. Sehingga muncul akulturasi budaya antara Hindu dan Islam.
Pajang mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan gaya-gaya arsitektur, sastra dan seni lainnya yang diambil alih dari Demak dan Jepara ke daerah pedalaman Jawa Tengah. Sastra Jawa pada masa itu telah hidup dan dihayati oleh rakyat. Pengaruh gaya bangunan dari masa awal Islam di Kudus dan Kalinyamat serta bangunan-bangunan sejenisnya dari Jawa Timur nampak jelas dalam bangunan makam Sunan Tembayat, yang berdasarkan angka-angka tahun yang terdapat dalam bangunan itu dapat dipastikan bahwa makam itu didirikan pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir).
Suatu tradisi religius yang diperkirakan berasal dari abad ke-16 adalah pesta apem yang disebut Angka Wiyu di Jatinom di daerah Klaten sekarang, yang pada masa itu termasuk wilayah Pajang. Tradisi religius itu dilaksanakan dan dirayakan dengan menyebarkan kue apem di atas kepala para pengunjung untuk diperebutkannya. Sebutan Angka Wiyu bagi pesta tersebut diperkirakan berasal dari kata seruan suci dalam bahasa Arab kepada Tuhan: Ya, Kawiyu (‘L-Azizu’l-Hamid, oh, Yang Kuat, Yang Dasyat, Yang Terpuji), seruan ini diucapkan berulang kali selama upacara oleh alim-ulama pemimpin upacara seperti hanya dalam doa litani. Rupanya, upacara ini merupakan pengislaman terhadap upacara-upacara ibadat pribumi kuno sebelum masa Islam.

c.       Perekonomian Pajang.
Pada abad ke-16 dan ke-17 Pajang sangat maju dibidang pertanian, sehingga menjadi lumbung beras terkemuk. Lokasi Kerajaan Pajang berada di dataran rendah tempat bertemunya Sungai Pepe dan Dengkeng (yang kedua-duanya bertmata air di lereng Gunung Merapi) dengan Bengawan solo. Maka, irigasi dipastikan sangat lancar, sehingga pertanian Pajang maju.
Pada masa awal Kerajaan Demak, diperkirakan Pajang dan Mataram sudah mengekspor berasnya melalui Bengawan Solo yang menjadi urat nadi jalur perniagaan. Dengan melihat lumbung padi yang begitu besar,  Demak ingin menguasai pajang dan juga mataram kerana lumbung padinya untuk membentuk negara yang agraris maritim yang ideal.
Penguasa-penguasa Pajang memiliki cita-cita untuk membangun suatu negeri kombinasi agraris-maritim dengan daerah-daerah induk Pajang yang sebagai tulang punggung daerah agraris penghasil beras serta pelabuhan ekspor di muara Bengawan Solo yang strategis di Jawa Timur seperti Gresik dan daratan. Tetapi, keadaan ini sebenarnya mempersulit tercapainya cita-cita tersebut, karena Bengawan Solo tidak bermuara di Jawa Tengah, melainkan ddi Jawa Timur. Untuk mequjudkan cita-cita Pajang sebagai negara agraris-maritim, Pajang harus berorientasi ke Jawa Timur karena hanya disanalah terdapat pelabuhan-pelabuhan untuk mengekspor beras.

2.      Kehidupan Masyarakat Kerajaan Banten:
a.       Kehidupan Sosial
Kerajaan Banten menerapkan sistem timbal balik, Kerajaan akan membina hubungan baik terhadap Negara manapun yang ingin membina hubungan baik dengan Kerajaan, tapi sebaliknya Kerajaan Banten menerapkan sistem perlawanan terhadap bangsa manapun yang ingin menganggu kedaulatan Kerajaan. Sayangnya ini hanya berlangsung pada masa Sultan Ageng Tirtayasa saja, karena pada masa kepemimpinan Sultan Haji Kerajaan Banten justru mengalami keruntuhan karena pada masa itu Kerajaan Banten berada dibawah naungan Belanda yang ingin menguasai pemerintah dan perekonomian Banten sepeunuhnya. Sejak kematian Sultan Ageng Tirtayasa pemerintahan Kerajaan Banten mengalami banyak kemunduran karena terjadi perebutan tahta dan perang saudara hingga akhirnya Banten dikuasai oleh Belanda.
Kehidupan sosial masyarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
b.      Kehidupan Politik
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta. Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602. Selain mendirikan benteng di Jayakarta, VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
c.       Ekonomi
Ekspansi banten di bawah pimpinan hasanudin, juga dikenal dalam tradisi rakyat sebagai Pangeran Saba Kingking, kemudian mencapai Lampung yang juga penting peranannya sebagai penghasil lada.  Kerajaan Banten berada pada posisi yang strategis dalam perdagangan internasional. Untuk menambah ekspor lada, Maulana Yusuf melakukan penaklukan ke Lampung. Dengan ditaklukkannya Lampung sebagai penghasil lada terbesar mampu meningkatkan ekspor ke luar negeri dan meningkatkan perekonomian.



3.      Kehidupan dalam Kerajaan Aceh
a.       Kehidupan Sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.


b.      Kehidupan Politik
Corak pemerintahan Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama. Pendiri kerajaan Aceh adalah Mudzaffar Syah. Raja yang pernah memerintah kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Salahudin, Sultan Alauddin Riayat, Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani.


c.       Budaya
Pada akhir abad ke-19 pun, sebelum kehancuran-kehancuran akibat “perang”, rupa-rupanya sudah banyak yang hilang dari kebesarannya dahulu. Sesudah kemenangan Belanda, habislah riwayatnya. Di bangunan-bangunan yang masih tersisa ditempatkan pasukan militer dan Dalam lama menjadi tangsi. Nama Dalam itu pun nama satu-satunya yang benar-benar dipakai di Aceh – diganti pada peta-peta dan dalam dokumen-dokumen resmi dengan nama Kraton, kata Jawa yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal di bagian utara Sumatra.
Dari bangunan-bangunan dahulu rupanya hanyalah Gunungan yang masih ada, dan pintu Khob. Dan rupanya makam-makam raja untuk sebgaian masih asli rupanya dengan nisan-nisan yang beberapa di antaranya telah dapat dibaca. Pada zaman Snouck Hurgronje, Dalam itu tempatnya di tengah-tengah kota: menjadi inti daerah yang dikenal dengan nama “Banda Aceh”, yang dikelilingi gampong- gampong lainnya. Pada awal abad ke-17, Dalam itu letaknya masih jauh dari tempat pemukiman yang sedikit demi sedikit meluas ke selatan dan pada akhirnya mengelilinginya.
Tanah berbenteng itu bisa dimasuki dari sejumlah pintu, enam buah menurut Dong xi yang kao, empat menurut Beaulieu. Setiap pagi dan
 malam, waktu pintu-pintu istana dibuka, raja menyuruh bunyikan meriam. Itulah suatu hak istimewa yang dianggapnya haknya seorang; dan perlu dicatat bahwa hak itu termasuk yang beberapa buah saja yang masih dapat dipertahankannya sampai akhir abad ke-19.
Melalui pintu masuk yang besar inilah orang asing masuk ke dalam istana, artinya apabila mereka diundang ke Dalam, suatu hal yang tidak selalu terjadi. Di bagian dalam, pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan diatur pada kedua tepi sebuah sungai kecil yang “turun dari pegunungan” dan yang airnya “yang dingin dan jernih sekali” memeriahkan berbagai bagian Dalam itu. Tetapi dahulu sungai kecil yang bergulung-gulung itu mengalir lebih ke sebelah barat, dan Iskandar Muda-lah yang membendung airnya, memindahkan aliran di hulu sehingga bisa melintasi Dalam yang pada waktu itu sedang diperbaikinya.
Ada pula taman-taman yang indah sekali, yang sedikit pun tak disebut oleh bangsa Eropa, tetapi yang ada pemerian panjang dalam Bustan us-Salatin.  Taman terbentang di sebelah selatan bangunan-bangunan istana, dikelilingi tembok batu dikapur dengan warna putih “seperti perak”.
Istana merupakan pusat kegiatan yang sangat besar. Satu minggu pun tak terlewat tanpa diadakannya upacara penerimaan tamu yang khidmat, tontonan, atau perayaan bersama. Ada beberapa dari upacara itu yang di kenal berkat orang Eropa, yang hanya karena kedatangannya saja hampir selalu menyebabkan diberlakukannya tata cara yang panjang dan lebar.
Setiap pedagang, setaip utusan, menuliskan sekurang-kurangnya beberapa baris mengenai cara penerimaan mereka yang tak terlupakan di istana. Upacara itu setiap kali berlangsung menurut urutan yang sama.
Mereka mencatat segala sesuatu yang akan dipersembahkan kepada sultan, lalu pulang. Esok harinya atau dua hari kemudian datang menghadap kapten asing itu suatu iring-iringan yang dipimpin oleh seorang kaya. Setiap hadiah bagi Baginda ditutup dengan “kain warna kuning” dan jika ada surat resmi dari salah seorang raja Eropa, surat itu ditaruh di atas “talam perak yang ditutup dengan kain bersulam emas”. Lalu berangkatlah iring-iringan itu dengan tujuan kota dan istana.
Sultan dan pengiringnya sangat gemar akan hewan. Berjam-jam lamanya habis dengan berburu, menjinakkan binatang, atau mengadunya satu sama lain. Setelah menjadi sultan, Iskandar Muda masih tetap gemar berburu. Kegemaran-kegemaran lain: balapan kuda, adu ayam, yang terdapat di mana-mana di Indonesia, adu kerbau, atau gajah. Selain hiburan dan kegemaran duniawi ini ada upacara-upacara besar, sipil atau agama, dengan iring-iringan mewah dan tata upacara yang dilaksankan dengan sesama.
Waktu singgah di Aceh pada tahun 1599, juru mudi Inggris John Davis menghadiri salah suatu arak-arakan besar; arak-arakan itu dilukiskannya dengan baik dan diberinya penafsiran yang menarik, yang pasti didengarnya dari salah seorang pembesar Aceh sendiri.
Kesaksian ini satu-satunya yang ada; maka sudah pasti terlalu berani kalaau dikatakan bahwa yang terjadi ialah “kultus raja” yang dironai keislaman. Bukti-bukti lain adanya kebiasaan-kebiasaan pra-Islam yang masih bertahan; pertama-tama upacara pemandian raja. Pada akhir abad ke-19, Snouck Hurgronje melihat bahwa kebiasaan itu masih dilangsungkan di Aceh dan Tanah Gayo.
Lalu yang paling utama ialah kurban besar kerbau-kerbau yang merupakan inti perayaan hari ke-10 bulan Zulhijjah; betapa pun segi-segi Islamnya (sembahyang di mesjid), tetapi kurban itu suatu tanda yang pasti tentang tetap berlangsungnya kebiasaan-kebiasaan yang lebih lama, kebiasaan-kebiasaan yang terdapat pula di Semenanjung Indocina.
Masih ada dua upacara; upacara-upacara ini tidak ditetapkan setiap tahun oleh ritus. Pertama-tama ziarah sultan yang pasti jarang terjadi dan yang kesaksiannya hanya diberikan oleh Bustan.
Selain istana dan taman yang menakjubkan, serta upacara dan peragaan yang mewah, Aceh abad ke-17 masih mempunyai jasa lain, yaitu menerima dan menampung limpahan pengarang dan pemikir. Ada yang berasal dari Sumatra, ada lagi yang datang dari India mengikuti jejak kaum pedangan. Dari sini muncullah beberapa karya besar Aceh, bukan karaya yang disampaikan turun-temurun dengan lisan, buan “dongeng” yang terlalu sering dianggap merupakan inti kesusastraan Melayu, tetapi karangan yang ditulis dengan porsa yang baik dan benar, di sana sini dihiasi dengan  sajak, yang ada tanggalnya dan kebanyakkan bahkan ada nama pengarangnya.
Beberapa pengarang sudah dengan pasti diketahui berasal dari India dan saduran-saduran serta kata-kata baru yang berasal baik dari bahasa Arab maupun dari bahasa Parsi ternyata banyak juga jumlahnya. Namun ada satu hal yang harus diingat pula: dari mana pun asal mereka, semua pengarang itu menulis dalam bahasa Melayu.
Hikayat Aceh,  suatu apologi yang sayangnya tidak lengkap mengenai Iskandar Muda dan yang dalam bentuknya seperti sekarang hanya memberikan silsilah dan kisah masa kanaknya. Selain pusat penciptaan sastra yang sangat giat, Aceh adalah pula tempat suatu paham agama tumbuh dan mekar melalui pembicaraan dan perdebatan. Sedini abad ke-15 pelabuhan-pelabuhan dagang bagian utara Sumatra sudah menjadi masyhur karena ulama dan ilmuwan yang ditampungnya. Dalam abad ke-16, Sumtra merasakan pengaruh perselisihan-perselisihan yang di Barat mempertentangkan pada “kaum ortodoks” mereka yang dinamakan “kaum bidah”, pemikir yang dipengaruhi sekaligus oleh pemikiran India dan oleh Neo-Platonisme; di kota-kota suci, seperti di Hindustan, telah tersebar gagasan bahwa segala perbedaan antara Khalik dan makhluknya, antara Tuhan dan dunia, harus dihapuskan; jadi kewajiban orang yang percaya bukanlah lagi setiap hari menjalankan sembahyang lima waktu tetapi menyadari melalui rasa dan di balik segala keanekaan dan kemajemukkan adanya kesatuan yang mencakup manusia, dunia, Tuhan sendiri.
Dalam paruh kedua abad ke-17, Aceh memperoleh kejayaan baru dengan ‘Abd ur-Rauf dari Singkel yang menurunkan kepada kita sebuah karya tujuh bab, yaitu‘Umdat al-Muhtājῑn. Dalam kesimpulannya ia mencatat dengan seksama beberapa keterangan mengenai riwayat hidupnya dan sebuah silsilah rohaniah; dengan demikian itu mengetahui bahwa orang Sumtra itu telah pergi ke Madinah, Mekkah, dan Jiddah untuk menuntut ilmu. Meskipun Aceh sudah jelas hampir langsung dipengaruhi oleh perdebatan pemikiran di Barat dalam abad-abad ke-16 dan ke-17, namun perlu dikemukakan pula pengaruhnya sebagai perantara dapat dihargai selayakkan.

d.      Politik dalam perdagangan
Tugas pokok bagi Aceh ialah mengharuskan sebanyak mungkin pedagang untuk berdagang di pelabuhannya. Maka sama sekali tak sulit untuk menetapkan bahwa dari masa pemerintahan Iskandar Muda-lah berasal penyusunan peraturan dan yang merumuskan asas-asas monopoli.
Sekali barang dagangan dan para pedagang dikelompokkan di dalam kotanya, maka sultan dengan bebas dapat memperlakukannya sesuka hatinya. Balai Furdah, yaitu Kantor Pelabuhan, ditempatkan di bawah wewenang bersama orang kaya Sri Maharaja Lela dan penghulu kawal. Yang satu pegawai sipil, yang lain militer.
Kewajiban pertama seluruh administrasi itu ialah memungut dengan rajin bermacam-macam bea cukai yang harus dibayar oleh kapal-kapal yang beranekaragam itu. Jumlah bea cukai itu mulai awal abad ke-17 rupanya terus bertambah banyak. Meskipun para penjelajah yang singgah di Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah mengeluh mengenai sangat tingginya taraf bea itu, mereka belum menyebut keanekaragamannya yang menyebalkan itu. Tetapi mereka sudah menceritakan adanya perbedaan perlakuan terhadap orang muslim dan orang Kristen. “Bea cukai yang dipungut raja ini tinggi, terutama yang dikenakan kapada kaum Kristen; orang muslim tidak membayar bea keluar tetapi pada waktu memasukkan barang dagangan, mereka memperlakukan sangat keras.
Politik Aceh pada waktu itu, terutama mengenai lada, agaknya tak dapat dirumuskan lebih baik dari yang berikut: memanfaatkan permintaan yang makin besar untuk menaikkan harga dengan cara yang dibuat-buat. Politik sedemikian itu memang berbahaya dan menumpukan keseimbangan pada keadaan yang tergantung pada turun naiknya harga, tetapi hasilnya baik sekali selama beberapa dasawarsa.
Masalah mata uang Aceh yang sangat peka tetapi sangat pokok hanya disentuh oleh Van Langen pada tahun 1888 dan oleh Millies pada tahun 1871. Satu hal yang pasti, mata uang telah dipakai di pelabuhan-pelabuhan dagang bagian utara Sumatra jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Van Langen berkata, sebenarnya tanpa memberibukti, bahwa uang Aceh yang pertama dibuat pada pemerintahan ‘Ala ad-Din al-Kahhar. Bahwa dibawah raja besar inilah Aceh dapat menempa mata uangnya yang pertama.
Aceh sudah pasti mengekspor gajah dan kuda; juga belerang yang menurut kata orang Eropa membekali “seluruh Nusantara”. Kebanyakkan hasil hutan yang tercantum dalam daftar boleh dianggap berasal dari pedalaman dan juga diekspor:  1. kayu yang tinggi nilainya (cendana, apang); 2. jenis damar (gendarukam, damar, teban); 3. sari dan wangi-wangian (kemenyan putih, kemenyan hitam, kapur/kamper, akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui; 4. rempah (lada, campli puta, bunga lawang; 5. gading; 6. lilin. Mungkin juga diekspor tali temali dari sabut kelapa (tali sabuk) dan sutera.
Sebaliknya, pelabuhan Aceh mengimpor untuk keperluannya sendiri atau untuk diekspor kembali: 1. bahan makanan; 2. logam; 3. tekstil yang kebanyakkan diimpor dari India; 4. beberapa barang kerajinan tangan; 5. bahan perangsang; 6. beberapa barang mewah; 7. budak.


4.      Kerajaan Gowa dan Tallo
a.       Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial Kerajaan Makassar adalah feodal. Feodal sendiri menurut KAMUS Besar Bahasa Indonesia adalah suatu susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Masyarakat Makassar dibebankan atas tiga lapisan atau kelas. Kelas tertinggi bergelar karaeng yang terdiri dari kaum bangsawan, tumasaraq adalah gelar untuk rakyat biasa, dan ata untuk hamba sahaya.
Orang Makassar dikenal sebagai pelaut ulung, transportasi yang digunakan adalah perahu Pinisi. Mereka berani menyeberang lautan menuju negara-negara yang sangat jauh bahkan sampai Madagaskar dan Afrika Selatan. Masuknya agama Islam dan maraknya perdagangan di Nusantara menambah kuatnya usaha dagang yang dijalankan oleh orang Makassar. Tidaklah heran, jika saat ini orang Makassar terkenal dalam bisnis.
.
b.      Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1591 – 1638 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a.       VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b.      Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c.       Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d.      Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.[4]

c.       Kehidupan Ekonomi
Setelah dikuasainya Makassar oleh Belanda, banyak rakyat setempat yang melarikan diri ke Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Mereka melakukan dagang dengan orang Makassar yang tetap tinggal. Hak monopoli dagang oleh Belanda tidak mempengaruhi sifat usaha dagang mereka yang tinggi, bahkan nilai-nilai Islam tetap dipertahankan. Berbeda dengan kerajaan Mataram yang melakukan percampuran nilai Islam dengan budaya Hindu. Hubungan dagang pun diperluas hingga Turki dan India, dan untuk mempererat diplomatik dengan Jawa, terjadi perkawinan antara raja Gowa dengan putri Mataram.

3.2       Hal-Hal yang Mempengaruhi Pluralisme Pada Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
Dalam hal-hal yang mempengaruhi pluralisme di empat kerajaan Islam tersebut, terdapat dua faktor didalamnya, yaitu :
1.      Faktor Internal
Faktor internal yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang yang mutlak dan absolut terhadap apa yang diyakini dan diimaninya merupakan hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertantangkannya hingga muncul teori tentang relativisme agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
2.      Faktor Eksternal
a.       Faktor Sosio-Politik
Faktor ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah liberalisme yang menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah yang menjadi cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah keagamaan juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia terhadapa agama secara umum. Sehingga dari sikap ini timbulah pluralisme agama.
Situasi politik global yang kita alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia secara umum. Dari sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap ngotot barat untuk memonopoli tafsir tunggal mereka tentang demokrasi. Maka pluralisme agama yang diciptakan hanya merupakan salah satu instrumen politik global untuk menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan lain yang akan menghalanginya.
b.      Faktor Keilmuan atau Ilmiah
Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga di kenal dengan studi perbandingan agama. Evolusi politik dan ekonomi telah memberikan pengaruh yang sebanding terhadap evolusi sosial budaya begitu juga sebaliknya. Di antara keduanya terdapat hubungan implikatif dan timbal balik. Terlepas dari motifasi dan tujuan yang ada di baliknya kajian ini telah berkembang begitu cepat baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat penemuan-penemuan, tesis, teori kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan yang baru.

3.3       Perbedaan Pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
1.      Kerajaan Gowa dan Tallo
 Kerajaan Gowa dan Tallo tumbuh menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan letak Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme kerajaan islam di Nusantara dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme kerajaan islam di Nusantara . Kerajaan tersebut memandang pluralisme sebagai sebuah hakikat yang tidak mungkin dinafikan lagi, sementara teori-teori pluralisme kerajaan islam di Nusantara hanya melihat pluralisme sebagai keberagaman yang tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah yang menimbulkan perbedaan dalam menentukan solusinya. Kerajaan islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karena lebih bersifat fiqhiyyah (sosial), sementara teori-teori pluralisme memberikan solusi teologis.


DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lombard, Denys. 2008. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1936). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia






[1] http://jamalalimahmud.blogspot.co.id/
[2] https://vinarachmaya.wordpress.com/2013/04/20/karakteristik-masyarakat-plural-kajian-politik-etnis/
[3] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlmn. 41.
[4] Fatwarohman.blogspot.co.id

Tidak ada komentar: