BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam
masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Agama Islam lebih banyak dianut
oleh masyarakat yang terdapat di bagian barat Nusantara. Agama islam dengan
mudah diterima dan dianut oleh para raja kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Akibatnya, rakyat yang berada pada wilayah kekuasaannya mengikuti kepercayaan
rajanya.
Adapun
masyarakat adalah suatu kesatuan kehidupan sosial manusia yang menempati
wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah
dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan
mengatur kehidupannya. Tekanannya disini terletak pada adanya pranata sosia,
tanpa pranata sosial kehidupan bersama didalam masyarakat tidak mungkin
dilakukan secara teratur. Pranata sosial disini dimaksudkan sebagai perangkat
peraturan yang mengatur peranan serta hubungan antar anggota masyarakat, baik
secara perseorangan maupun secara kelompok.
Pluralisme adalah
suatu istilah yang sudah tidak asing kita dengar dalam kehidupan kita.
Kehidupan yang beraneka ragam suku, bangsa, kebudayaan, maupun agama. Pandangan
arti pluralisme secara umum diartikan sebagai kejamakan, kemajemukan. Pandangan
yang mengatasnamakan perbedaan. Pandangan para filosofis terhadap pluralisme
mengungkapkan pengartian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Anaxagotas ia
berpandangan bahwa pluralisme sebagai jumlah yang berbeda secara kualitatif
yang tidak ada batasnya. Dan menurut pandagan sosial pluralisme dipandang
sebagai hubungan ketergantungan dari beberapa aspek. Bahkan dapat dikatakan sebagai
salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting
dan mungkin merupakan kunci utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat
dan perkembangan ekonomi.
Sedangkan,
pluralisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah suatu keadaan masyarakat
yang majemuk yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politiknya. Sehingga
menimbulkan sikap saling ketergantungan, yang menimbulkan sikap saling
menghargai, menghormati satu sama lain.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pluralisme?
2. Bagaimana
karakteristik dan ciri-ciri pluralisme?
3. Bagaimana
perkembangan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh, dan
Kerajaan Goa dan Talo?
4. Hal-hal
yang mempengaruhi pluralisme pada Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan
Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo?
5. Bagaimana
perbedaan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan
Kerajaan Goa dan Talo?
1.3 Tujuan penulisan masalah
1. Untuk
mengetahui pengertian pluralisme.
2. Untuk
mengetahui karakteristik dan ciri-ciri pluralisme.
3. Untuk
mengetahui pluralisme perkembangan di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan
Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.
4. Untuk
mengetahui hal-hal yang mempengaruhi pluralisme pada Kerajaan Pajang, Kerajaan
Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.
5. Untuk
mengetahui perbedaan pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan
Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pengertian
Pluralisme menurut beberapa tokoh
Pluralisme berasal dari kata Inggris, yaitu “Pluralism”, jamak pluralis. Dapat
dicirikan sebagai berikut :
1. Realita fundamental bersifat jamak.
Berbeda dengan dualism yang mengatakan bahwa realita fundamental terdiri dari
dua komposisi dan monoisme menyatakan bahwa realita fundamental hanya ada satu.
2. Adanya banyak tingkatan hal – hal
dalam alam semesta yang terpisah dan tidak dapat diredusir dan pada dirinya
independen.
3. Alam semesta pada dasarnya tidak
ditentukan dalam bentuk tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang
mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental.[1]
Salah satu tokoh muslimah Indonesia Cak Nur berpendapat
mengenai pengertian pluralisme adalah sebuah landasan yang sifatnya positif
dalam menerima adanya kemajemukan semua hal dalam aspek kehidupan sosial
budaya, yang di dalamnya tedapat agama. Pandangan pengertian dari pluralisme
menurut kacamata filosofi adalah sebuah sistem pemikiran yang menyatakan adanya
landasan pemikiran yang mendasar atau lebih dari satu. Sedangkan menurut sosio
politik pluralisme adalah suatu sistem yang mengakui adanya sebuah keberadan
adanya kelompok keagamaan, baik yang berisi mengenai ras, suku dan bahkan
aliran kepercayaan, partai dengan tetap menjunjung tinggi adanya aspek aspek
perbedaan karakteristik di antara kelompok kelompok tersebut. Maka, pendapat
yang terakhir tersebutlah yang seringkali di pakai dalam kaitannya masyarakat
kita Indonesia ini. Yang banyak mengatas namakannya
dan akhirnya akan berujung dengan adanya sebuah konflik dan lain-lainnya, maka
untuk itulah dengan konsep pluralisme diatas maka semua orang dapat
menghargai satu sama lainnya.
Dari beberapa
definisi di atas dikatakan bahwa pluralisme merupakan suatu paham tentang kemajemukan
yang dimana terdapat beraneka ragam ras dan agama yang hidup berdampingan dalam
suatu lokasi. Di sini pluralisme tidak hanya sekedar hidup berdampingan tanpa
mempedulikan orang lain. Tetapi, hal itu membutuhkan ikatan, kerjasama, dan
kerja yang nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar
dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralisme.
2.2
Karakteristik
dan Ciri-Ciri Pluralisme
Ciri-ciri
Pluralisme :
1. Ethnisiti dan perbedaan etnik
merupakan ciri utama masyarakat majemuk.
2. Setiap kelompok etnik mengamalkan
budaya masing-masing (termasuk agama, bahasa, adat, dan lain-lain)
3. Secara teorinya trend budaya
satu-satu kelompok etnik itu tidak bercampur aduk dengan trend budaya kelompok
etnik lain walaupun sedikit sebanyak berlaku pinjam meminjam budaya (cultural borrowing).
4. Semua kelompok etnik yang berbeda
itu berhubungan dan berkerjasama antara satu sama lain dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, dll, dengan masing-masing mempunyai serta menjaga kepentingan
tersendiri.
5. Semua kelompok etnik menjadi
warganegara serta mendukung undang-undang negara yang sama[2]
Karakteristik
masyarakat majemuk menurut Pierre L. Van Den Berghe :
1. Terjadinya segmentasi ke dalam
bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda
satu sama lain
2. Memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer
3. Kurang mengembangkan konsensus di
antara para anggotanya terhdapa nilai-nilai yang bersifat dasar
4. Secara relatif seringkali mengalami
konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
5. Secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan
saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
6. Adanya dominasi politik oleh suatu
kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.[3]
Oleh
karena itu, suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat
yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi juga
tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang terdiferensiasi atau spesialisasi
yang tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Perkembangan Pluralisme di Kerajaan
Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
Plurarisme
merupakan kerangka dimana ada interaksi dibeberapa kelompok-kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan
toleransi satu sama lain. Perkembangan Pluralisme di Kerajaan Pajang, Kerajaan
Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo, dapat di lihat dari
masing-masing kehidupan di kerajaan tersebut, antara lain:
1. Kerajaaan
Pajang
a. Sistem
Politik
Setelah Sultan Trenggono meninggal,
Demak dilanda perang saudara antara Pangeran Prawoto (anak Trenggono) dengan
Pangeran Sekar Sedo Lepen (adik Trenggono) dan dimenangkan Prawoto. Aryo
Penangsang, anak Pangeran Sedo Lepen tidak dapat menerima kematian ayahnya.
Kemudian Aryo Penangsang membunuh Pangeran Prawoto dan keluarganya. Pangeran
Prawoto mempunyai putra bernama Arya Pangiri. Dengan bantuan Joko Tingkir (adik
ipar Trenggono), Arya Pangiri membalas kematian ayahnya. Kemudian Joko Tingkir
naik takhta dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang pada 1552. Joko
Tingkir menjadi raja pertama Kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Adiwijaya.
Pengangkatan Joko Tingkir sebagai raja Pajang disahkan oleh Sunan Giri
dan mendapat pengakuan para adipati di Jawa. Saat itu Demak hanya sebagai
daerah kecil yang dipimpin Arya Pangiri. Di antara pengikut Adiwijaya, yang
dianggap berjasa adalah Kyai Gede Pemanahan. Kyai ini diberi hadiah tanah
pemukiman di Mataram (Kota-Gede, Yogyakarta). Kyai Gede Pemanahan dianggap
sebagai perintis berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kyai Gede Pemanahan
meninggal pada 1575 dan diganti putranya yang bemama Sutawijaya.
Joko Tingkir wafat pada 1582 dan digantikan putranya, yaitu Pangeran
Benowo. Beberapa lama kemudian Pangeran Benowo disingkirkan Arya Pangiri (anak
Prawoto dari Demak). Kerajaan Pajang kemudian diperintah Arya Pangiri, namun ia
tidak disukai rakyat sehingga timbul perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran
Benowo dengan dibantu Sutawijaya. Perlawanan itu berhasil, kemudian Sutawijaya
naik takhta dan memindahkan pusat pemerintahan ke Mataram.
b. Sistem
Sosial
Tradisi Hindu
masih memiliki pengaruh yang sangat besar di kerajaan Pajang. Karena di daerah
agraris pedalaman, tradisi Hindu masih sangat kuat dipegang dan pengaruh Islam
hanya terbatas pada kalangan tertentu. Sehingga muncul akulturasi budaya antara
Hindu dan Islam.
Pajang mempunyai
peranan penting dalam memperkenalkan gaya-gaya arsitektur, sastra dan seni
lainnya yang diambil alih dari Demak dan Jepara ke daerah pedalaman Jawa
Tengah. Sastra Jawa pada masa itu telah hidup dan dihayati oleh rakyat.
Pengaruh gaya bangunan dari masa awal Islam di Kudus dan Kalinyamat serta
bangunan-bangunan sejenisnya dari Jawa Timur nampak jelas dalam bangunan makam
Sunan Tembayat, yang berdasarkan angka-angka tahun yang terdapat dalam bangunan
itu dapat dipastikan bahwa makam itu didirikan pada masa pemerintahan Sultan
Adiwijaya (Jaka Tingkir).
Suatu tradisi
religius yang diperkirakan berasal dari abad ke-16 adalah pesta apem yang disebut Angka Wiyu di Jatinom di daerah Klaten sekarang, yang pada masa itu
termasuk wilayah Pajang. Tradisi religius itu dilaksanakan dan dirayakan dengan
menyebarkan kue apem di atas kepala para pengunjung untuk diperebutkannya.
Sebutan Angka Wiyu bagi pesta
tersebut diperkirakan berasal dari kata seruan suci dalam bahasa Arab kepada
Tuhan: Ya, Kawiyu (‘L-Azizu’l-Hamid, oh,
Yang Kuat, Yang Dasyat, Yang Terpuji), seruan ini diucapkan berulang kali
selama upacara oleh alim-ulama pemimpin upacara seperti hanya dalam doa litani.
Rupanya, upacara ini merupakan pengislaman terhadap upacara-upacara ibadat
pribumi kuno sebelum masa Islam.
c. Perekonomian
Pajang.
Pada abad ke-16
dan ke-17 Pajang sangat maju dibidang pertanian, sehingga menjadi lumbung beras
terkemuk. Lokasi Kerajaan Pajang berada di dataran rendah tempat bertemunya
Sungai Pepe dan Dengkeng (yang kedua-duanya bertmata air di lereng Gunung
Merapi) dengan Bengawan solo. Maka, irigasi dipastikan sangat lancar, sehingga
pertanian Pajang maju.
Pada masa awal
Kerajaan Demak, diperkirakan Pajang dan Mataram sudah mengekspor berasnya
melalui Bengawan Solo yang menjadi urat nadi jalur perniagaan. Dengan melihat
lumbung padi yang begitu besar, Demak
ingin menguasai pajang dan juga mataram kerana lumbung padinya untuk membentuk
negara yang agraris maritim yang ideal.
Penguasa-penguasa
Pajang memiliki cita-cita untuk membangun suatu negeri kombinasi
agraris-maritim dengan daerah-daerah induk Pajang yang sebagai tulang punggung
daerah agraris penghasil beras serta pelabuhan ekspor di muara Bengawan Solo
yang strategis di Jawa Timur seperti Gresik dan daratan. Tetapi, keadaan ini
sebenarnya mempersulit tercapainya cita-cita tersebut, karena Bengawan Solo
tidak bermuara di Jawa Tengah, melainkan ddi Jawa Timur. Untuk mequjudkan
cita-cita Pajang sebagai negara agraris-maritim, Pajang harus berorientasi ke
Jawa Timur karena hanya disanalah terdapat pelabuhan-pelabuhan untuk mengekspor
beras.
2. Kehidupan
Masyarakat Kerajaan Banten:
a. Kehidupan
Sosial
Kerajaan Banten
menerapkan sistem timbal balik, Kerajaan akan membina hubungan baik terhadap
Negara manapun yang ingin membina hubungan baik dengan Kerajaan, tapi
sebaliknya Kerajaan Banten menerapkan sistem perlawanan terhadap bangsa manapun
yang ingin menganggu kedaulatan Kerajaan. Sayangnya ini hanya berlangsung pada
masa Sultan Ageng Tirtayasa saja, karena pada masa kepemimpinan Sultan Haji
Kerajaan Banten justru mengalami keruntuhan karena pada masa itu Kerajaan
Banten berada dibawah naungan Belanda yang ingin menguasai pemerintah dan
perekonomian Banten sepeunuhnya. Sejak kematian Sultan Ageng Tirtayasa
pemerintahan Kerajaan Banten mengalami banyak kemunduran karena terjadi
perebutan tahta dan perang saudara hingga akhirnya Banten dikuasai oleh Belanda.
Kehidupan sosial
masyarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam.
Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di
daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni
ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka
disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka
mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan sosial
masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan
memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng
Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan
sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada
bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di
Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda,
pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya
menyerupai istana raja di Eropa.
b. Kehidupan
Politik
Berkembangnya
kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di
kerajaan tersebut. Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah
Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang
banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan
Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan
Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.Dengan
dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di
Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan
berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya
Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti
Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada
awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena
kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari
Banten dan menetap di Jayakarta. Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang
tahun 1602. Selain mendirikan benteng di Jayakarta, VOC akhirnya menetap dan
mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di
Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi
Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi
pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC.
Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan
melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat
tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk
menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan
politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu
Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang
saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara
tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut
dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng
Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692.
Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal,
di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684.
Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga
Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah
memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari
kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan
kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
c. Ekonomi
Ekspansi banten
di bawah pimpinan hasanudin, juga dikenal dalam tradisi rakyat sebagai Pangeran
Saba Kingking, kemudian mencapai Lampung yang juga penting peranannya sebagai
penghasil lada. Kerajaan Banten berada
pada posisi yang strategis dalam perdagangan internasional. Untuk menambah
ekspor lada, Maulana Yusuf melakukan penaklukan ke Lampung. Dengan
ditaklukkannya Lampung sebagai penghasil lada terbesar mampu meningkatkan
ekspor ke luar negeri dan meningkatkan perekonomian.
3. Kehidupan
dalam Kerajaan Aceh
a. Kehidupan
Sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh
berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta
benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan
sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para
penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang
merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan
keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai
keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan
sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar
Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah
para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah
rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
b. Kehidupan
Politik
Corak
pemerintahan Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama.
Pendiri kerajaan Aceh adalah Mudzaffar Syah. Raja yang pernah memerintah
kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Salahudin, Sultan
Alauddin Riayat, Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani.
c. Budaya
Pada akhir abad
ke-19 pun, sebelum kehancuran-kehancuran akibat “perang”, rupa-rupanya sudah
banyak yang hilang dari kebesarannya dahulu. Sesudah kemenangan Belanda,
habislah riwayatnya. Di bangunan-bangunan yang masih tersisa ditempatkan
pasukan militer dan Dalam lama menjadi tangsi. Nama Dalam itu pun nama
satu-satunya yang benar-benar dipakai di Aceh – diganti pada peta-peta dan
dalam dokumen-dokumen resmi dengan nama Kraton, kata Jawa yang sebelumnya sama
sekali tidak dikenal di bagian utara Sumatra.
Dari
bangunan-bangunan dahulu rupanya hanyalah Gunungan yang masih ada, dan pintu
Khob. Dan rupanya makam-makam raja untuk sebgaian masih asli rupanya dengan
nisan-nisan yang beberapa di antaranya telah dapat dibaca. Pada zaman Snouck
Hurgronje, Dalam itu tempatnya di tengah-tengah kota: menjadi inti daerah yang
dikenal dengan nama “Banda Aceh”, yang dikelilingi gampong- gampong lainnya.
Pada awal abad ke-17, Dalam itu letaknya masih jauh dari tempat pemukiman yang
sedikit demi sedikit meluas ke selatan dan pada akhirnya mengelilinginya.
Tanah berbenteng
itu bisa dimasuki dari sejumlah pintu, enam buah menurut Dong xi yang kao,
empat menurut Beaulieu. Setiap pagi dan
malam, waktu pintu-pintu istana dibuka, raja
menyuruh bunyikan meriam. Itulah suatu hak istimewa yang dianggapnya haknya
seorang; dan perlu dicatat bahwa hak itu termasuk yang beberapa buah saja yang
masih dapat dipertahankannya sampai akhir abad ke-19.
Melalui pintu
masuk yang besar inilah orang asing masuk ke dalam istana, artinya apabila
mereka diundang ke Dalam, suatu hal yang tidak selalu terjadi. Di bagian dalam,
pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan diatur pada kedua tepi sebuah sungai
kecil yang “turun dari pegunungan” dan yang airnya “yang dingin dan jernih
sekali” memeriahkan berbagai bagian Dalam itu. Tetapi dahulu sungai kecil yang
bergulung-gulung itu mengalir lebih ke sebelah barat, dan Iskandar Muda-lah
yang membendung airnya, memindahkan aliran di hulu sehingga bisa melintasi
Dalam yang pada waktu itu sedang diperbaikinya.
Ada pula
taman-taman yang indah sekali, yang sedikit pun tak disebut oleh bangsa Eropa,
tetapi yang ada pemerian panjang dalam Bustan us-Salatin. Taman terbentang di sebelah selatan
bangunan-bangunan istana, dikelilingi tembok batu dikapur dengan warna putih
“seperti perak”.
Istana merupakan
pusat kegiatan yang sangat besar. Satu minggu pun tak terlewat tanpa
diadakannya upacara penerimaan tamu yang khidmat, tontonan, atau perayaan
bersama. Ada beberapa dari upacara itu yang di kenal berkat orang Eropa, yang
hanya karena kedatangannya saja hampir selalu menyebabkan diberlakukannya tata
cara yang panjang dan lebar.
Setiap pedagang,
setaip utusan, menuliskan sekurang-kurangnya beberapa baris mengenai cara
penerimaan mereka yang tak terlupakan di istana. Upacara itu setiap kali
berlangsung menurut urutan yang sama.
Mereka mencatat
segala sesuatu yang akan dipersembahkan kepada sultan, lalu pulang. Esok
harinya atau dua hari kemudian datang menghadap kapten asing itu suatu
iring-iringan yang dipimpin oleh seorang kaya. Setiap hadiah bagi Baginda
ditutup dengan “kain warna kuning” dan jika ada surat resmi dari salah seorang
raja Eropa, surat itu ditaruh di atas “talam perak yang ditutup dengan kain
bersulam emas”. Lalu berangkatlah iring-iringan itu dengan tujuan kota dan
istana.
Sultan dan
pengiringnya sangat gemar akan hewan. Berjam-jam lamanya habis dengan berburu,
menjinakkan binatang, atau mengadunya satu sama lain. Setelah menjadi sultan,
Iskandar Muda masih tetap gemar berburu. Kegemaran-kegemaran lain: balapan kuda,
adu ayam, yang terdapat di mana-mana di Indonesia, adu kerbau, atau gajah.
Selain hiburan dan kegemaran duniawi ini ada upacara-upacara besar, sipil atau
agama, dengan iring-iringan mewah dan tata upacara yang dilaksankan dengan
sesama.
Waktu singgah di
Aceh pada tahun 1599, juru mudi Inggris John Davis menghadiri salah suatu
arak-arakan besar; arak-arakan itu dilukiskannya dengan baik dan diberinya
penafsiran yang menarik, yang pasti didengarnya dari salah seorang pembesar
Aceh sendiri.
Kesaksian ini
satu-satunya yang ada; maka sudah pasti terlalu berani kalaau dikatakan bahwa
yang terjadi ialah “kultus raja” yang dironai keislaman. Bukti-bukti lain
adanya kebiasaan-kebiasaan pra-Islam yang masih bertahan; pertama-tama upacara
pemandian raja. Pada akhir abad ke-19, Snouck Hurgronje melihat bahwa kebiasaan
itu masih dilangsungkan di Aceh dan Tanah Gayo.
Lalu yang paling
utama ialah kurban besar kerbau-kerbau yang merupakan inti perayaan hari ke-10
bulan Zulhijjah; betapa pun segi-segi Islamnya (sembahyang di mesjid), tetapi
kurban itu suatu tanda yang pasti tentang tetap berlangsungnya
kebiasaan-kebiasaan yang lebih lama, kebiasaan-kebiasaan yang terdapat pula di
Semenanjung Indocina.
Masih ada dua
upacara; upacara-upacara ini tidak ditetapkan setiap tahun oleh ritus.
Pertama-tama ziarah sultan yang pasti jarang terjadi dan yang kesaksiannya
hanya diberikan oleh Bustan.
Selain istana
dan taman yang menakjubkan, serta upacara dan peragaan yang mewah, Aceh abad
ke-17 masih mempunyai jasa lain, yaitu menerima dan menampung limpahan
pengarang dan pemikir. Ada yang berasal dari Sumatra, ada lagi yang datang dari
India mengikuti jejak kaum pedangan. Dari sini muncullah beberapa karya besar
Aceh, bukan karaya yang disampaikan turun-temurun dengan lisan, buan “dongeng”
yang terlalu sering dianggap merupakan inti kesusastraan Melayu, tetapi
karangan yang ditulis dengan porsa yang baik dan benar, di sana sini dihiasi
dengan sajak, yang ada tanggalnya dan
kebanyakkan bahkan ada nama pengarangnya.
Beberapa
pengarang sudah dengan pasti diketahui berasal dari India dan saduran-saduran
serta kata-kata baru yang berasal baik dari bahasa Arab maupun dari bahasa
Parsi ternyata banyak juga jumlahnya. Namun ada satu hal yang harus diingat
pula: dari mana pun asal mereka, semua pengarang itu menulis dalam bahasa
Melayu.
Hikayat
Aceh, suatu apologi yang sayangnya tidak
lengkap mengenai Iskandar Muda dan yang dalam bentuknya seperti sekarang hanya
memberikan silsilah dan kisah masa kanaknya. Selain pusat penciptaan sastra
yang sangat giat, Aceh adalah pula tempat suatu paham agama tumbuh dan mekar
melalui pembicaraan dan perdebatan. Sedini abad ke-15 pelabuhan-pelabuhan
dagang bagian utara Sumatra sudah menjadi masyhur karena ulama dan ilmuwan yang
ditampungnya. Dalam abad ke-16, Sumtra merasakan pengaruh
perselisihan-perselisihan yang di Barat mempertentangkan pada “kaum ortodoks”
mereka yang dinamakan “kaum bidah”, pemikir yang dipengaruhi sekaligus oleh
pemikiran India dan oleh Neo-Platonisme; di kota-kota suci, seperti di Hindustan,
telah tersebar gagasan bahwa segala perbedaan antara Khalik dan makhluknya,
antara Tuhan dan dunia, harus dihapuskan; jadi kewajiban orang yang percaya
bukanlah lagi setiap hari menjalankan sembahyang lima waktu tetapi menyadari
melalui rasa dan di balik segala keanekaan dan kemajemukkan adanya kesatuan
yang mencakup manusia, dunia, Tuhan sendiri.
Dalam paruh
kedua abad ke-17, Aceh memperoleh kejayaan baru dengan ‘Abd ur-Rauf dari
Singkel yang menurunkan kepada kita sebuah karya tujuh bab, yaitu‘Umdat al-Muhtājῑn.
Dalam kesimpulannya ia mencatat dengan seksama beberapa keterangan mengenai
riwayat hidupnya dan sebuah silsilah rohaniah; dengan demikian itu mengetahui
bahwa orang Sumtra itu telah pergi ke Madinah, Mekkah, dan Jiddah untuk
menuntut ilmu. Meskipun Aceh sudah jelas hampir langsung dipengaruhi oleh
perdebatan pemikiran di Barat dalam abad-abad ke-16 dan ke-17, namun perlu
dikemukakan pula pengaruhnya sebagai perantara dapat dihargai selayakkan.
d. Politik
dalam perdagangan
Tugas pokok bagi
Aceh ialah mengharuskan sebanyak mungkin pedagang untuk berdagang di
pelabuhannya. Maka sama sekali tak sulit untuk menetapkan bahwa dari masa
pemerintahan Iskandar Muda-lah berasal penyusunan peraturan dan yang merumuskan
asas-asas monopoli.
Sekali barang
dagangan dan para pedagang dikelompokkan di dalam kotanya, maka sultan dengan
bebas dapat memperlakukannya sesuka hatinya. Balai Furdah, yaitu Kantor
Pelabuhan, ditempatkan di bawah wewenang bersama orang kaya Sri Maharaja Lela
dan penghulu kawal. Yang satu pegawai sipil, yang lain militer.
Kewajiban
pertama seluruh administrasi itu ialah memungut dengan rajin bermacam-macam bea
cukai yang harus dibayar oleh kapal-kapal yang beranekaragam itu. Jumlah bea
cukai itu mulai awal abad ke-17 rupanya terus bertambah banyak. Meskipun para
penjelajah yang singgah di Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah mengeluh
mengenai sangat tingginya taraf bea itu, mereka belum menyebut
keanekaragamannya yang menyebalkan itu. Tetapi mereka sudah menceritakan adanya
perbedaan perlakuan terhadap orang muslim dan orang Kristen. “Bea cukai yang
dipungut raja ini tinggi, terutama yang dikenakan kapada kaum Kristen; orang
muslim tidak membayar bea keluar tetapi pada waktu memasukkan barang dagangan,
mereka memperlakukan sangat keras.
Politik Aceh
pada waktu itu, terutama mengenai lada, agaknya tak dapat dirumuskan lebih baik
dari yang berikut: memanfaatkan permintaan yang makin besar untuk menaikkan
harga dengan cara yang dibuat-buat. Politik sedemikian itu memang berbahaya dan
menumpukan keseimbangan pada keadaan yang tergantung pada turun naiknya harga,
tetapi hasilnya baik sekali selama beberapa dasawarsa.
Masalah mata
uang Aceh yang sangat peka tetapi sangat pokok hanya disentuh oleh Van Langen
pada tahun 1888 dan oleh Millies pada tahun 1871. Satu hal yang pasti, mata
uang telah dipakai di pelabuhan-pelabuhan dagang bagian utara Sumatra jauh
sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Van Langen
berkata, sebenarnya tanpa memberibukti, bahwa uang Aceh yang pertama dibuat
pada pemerintahan ‘Ala ad-Din al-Kahhar. Bahwa dibawah raja besar inilah Aceh
dapat menempa mata uangnya yang pertama.
Aceh sudah pasti
mengekspor gajah dan kuda; juga belerang yang menurut kata orang Eropa
membekali “seluruh Nusantara”. Kebanyakkan hasil hutan yang tercantum dalam
daftar boleh dianggap berasal dari pedalaman dan juga diekspor: 1. kayu yang tinggi nilainya (cendana,
apang); 2. jenis damar (gendarukam, damar, teban); 3. sari dan wangi-wangian
(kemenyan putih, kemenyan hitam, kapur/kamper, akar pucuk, minyak rasamala, kulit
kayu masui; 4. rempah (lada, campli puta, bunga lawang; 5. gading; 6. lilin.
Mungkin juga diekspor tali temali dari sabut kelapa (tali sabuk) dan sutera.
Sebaliknya,
pelabuhan Aceh mengimpor untuk keperluannya sendiri atau untuk diekspor
kembali: 1. bahan makanan; 2. logam; 3. tekstil yang kebanyakkan diimpor dari
India; 4. beberapa barang kerajinan tangan; 5. bahan perangsang; 6. beberapa
barang mewah; 7. budak.
4. Kerajaan
Gowa dan Tallo
a. Kehidupan
Sosial
Kehidupan sosial
Kerajaan Makassar adalah feodal. Feodal sendiri menurut KAMUS Besar Bahasa
Indonesia adalah suatu susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Masyarakat
Makassar dibebankan atas tiga lapisan atau kelas. Kelas tertinggi bergelar karaeng yang terdiri dari kaum
bangsawan, tumasaraq adalah gelar
untuk rakyat biasa, dan ata untuk
hamba sahaya.
Orang Makassar
dikenal sebagai pelaut ulung, transportasi yang digunakan adalah perahu Pinisi.
Mereka berani menyeberang lautan menuju negara-negara yang sangat jauh bahkan
sampai Madagaskar dan Afrika Selatan. Masuknya agama Islam dan maraknya
perdagangan di Nusantara menambah kuatnya usaha dagang yang dijalankan oleh
orang Makassar. Tidaklah heran, jika saat ini orang Makassar terkenal dalam
bisnis.
.
b. Kehidupan
Politik
Penyebaran Islam
di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari
Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi
Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar
yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri
Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun
1591 – 1638 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan
Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai
kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said
(1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta
daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil
menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut
sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Daerah kekuasaan
Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya.
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing.
Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC
yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat
kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan
Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan
Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan
tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan
melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk
mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu
Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan
tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara
terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai
perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan
Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda
dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar
harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar
Makasar.
d. Aru
Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi
perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari
Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan
melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar,
Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat
menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.[4]
c. Kehidupan
Ekonomi
Setelah
dikuasainya Makassar oleh Belanda, banyak rakyat setempat yang melarikan diri
ke Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Mereka melakukan dagang dengan orang Makassar
yang tetap tinggal. Hak monopoli dagang oleh Belanda tidak mempengaruhi sifat
usaha dagang mereka yang tinggi, bahkan nilai-nilai Islam tetap dipertahankan.
Berbeda dengan kerajaan Mataram yang melakukan percampuran nilai Islam dengan
budaya Hindu. Hubungan dagang pun diperluas hingga Turki dan India, dan untuk
mempererat diplomatik dengan Jawa, terjadi perkawinan antara raja Gowa dengan
putri Mataram.
3.2
Hal-Hal yang Mempengaruhi Pluralisme
Pada Kerajaan Pajang, Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
Dalam hal-hal
yang mempengaruhi pluralisme di empat kerajaan Islam tersebut, terdapat dua
faktor didalamnya, yaitu :
1. Faktor
Internal
Faktor internal yaitu
mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang yang mutlak dan absolut terhadap
apa yang diyakini dan diimaninya merupakan hal yang wajar. Sikap absolutisme
agama tak ada yang mempertantangkannya hingga muncul teori tentang relativisme
agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap
agama.
2. Faktor
Eksternal
a. Faktor
Sosio-Politik
Faktor ini
berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah liberalisme yang
menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah
yang menjadi cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut
mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah
keagamaan juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah menciptakan
perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia
terhadapa agama secara umum. Sehingga dari sikap ini timbulah pluralisme agama.
Situasi politik
global yang kita alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang
betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia secara umum.
Dari sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap ngotot barat
untuk memonopoli tafsir tunggal mereka tentang demokrasi. Maka pluralisme agama
yang diciptakan hanya merupakan salah satu instrumen politik global untuk
menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan lain yang akan menghalanginya.
b. Faktor
Keilmuan atau Ilmiah
Pada hakikatnya
terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun
yang memiliki kaitan langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah
maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering
juga di kenal dengan studi perbandingan agama. Evolusi politik dan ekonomi telah
memberikan pengaruh yang sebanding terhadap evolusi sosial budaya begitu juga sebaliknya.
Di antara keduanya terdapat hubungan implikatif dan timbal balik. Terlepas dari
motifasi dan tujuan yang ada di baliknya kajian ini telah berkembang begitu cepat
baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat
penemuan-penemuan, tesis, teori kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan yang baru.
3.3
Perbedaan Pluralisme di Kerajaan Pajang,
Kerajaan Banten, Kerajaan Aceh dan Kerajaan Goa dan Talo
1. Kerajaan
Gowa dan Tallo
Kerajaan Gowa dan Tallo tumbuh menjadi pusat
perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan letak Makassar yang
strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku.
Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai
kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri
yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan
kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda
dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan
memiliki tradisi merantau.
Terdapat
perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme kerajaan islam
di Nusantara dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme
kerajaan islam di Nusantara . Kerajaan tersebut memandang pluralisme sebagai
sebuah hakikat yang tidak mungkin dinafikan lagi, sementara teori-teori
pluralisme kerajaan islam di Nusantara hanya melihat pluralisme sebagai
keberagaman yang tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah yang menimbulkan
perbedaan dalam menentukan solusinya. Kerajaan islam menawarkan solusi praktis
sosiologis oleh karena lebih bersifat fiqhiyyah (sosial), sementara teori-teori
pluralisme memberikan solusi teologis.
DAFTAR PUSTAKA
Daliman, A.
2012. Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Ombak
Kartodirdjo,
Sartono. 1992. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid I. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Lombard, Denys.
2008. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1936). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar