Julien
Benda mendefinisikan intelektual sebagai segelintir manusia sangat berbakat dan
yang diberkahi moral filsuf raja. Mereka ini yang membangun kesadaran untuk
manusia. La trahison des clerc
(pengkhianatan kaum intelektual) merupakan kecaman atas intelektual yang tidak
mengabaikan panggilan serta telah mengkompromikan prinsip-prinsip mereka.
Julien menyebut segelintir nama dan karakteristik utama dari mereka yang
dianggap sebagai intelektual sejati. Intelektual sejati menciptakan tatanan
dalam masyarakat, karena apa yang mereka junjung adalah standar kebenaran dan
keadilan abadi.
Karya
termasyhur Julien Benda The Treason of
the Intellectualls mengesankan bahwa intelektual ada dalam ruang universal,
tidak terikat baik oleh batasan negara maupun identitas etnik.
Dalam
derajat tertentu, fokus yang menyempit serta lokalisasi cara pandang terhadap
intelektual juga berkaitan dengan berbiaknya studi-studi khusus, yang bisa
dianggap sebagai penyebab perkembangan peran intelektual dalam kehidupan
modern.
Pada
masa pramodern pengusiran menjadi hukuman paling mengerikan karena tidak hanya
bertahun-tahun berpisah dengan sanak saudara
dan tempat-tempat yang akrab, tetapi juga menjadi paria secara permanen.
Di abad 20, makna pengasingan telah bergeser dari pengucilan yang terkadang
eksklusif, penghukuman individu-individu istimewa seperti penyair akbar Latin Ovid yang diusir dari Roma ke kota
terpencil di Laut Hitam, menjadi hukuman paling kejam seluruh masyarakat atau
bangsa. Pengasingan tak jarang merupakan akibat sampingan dari
kekuatan-kekuatan impersonal semacam perang, bahaya kelaparan atau penyakit.
Individu-individu merasa asing dengan masyarakat mereka dan karena itu menjadi
kaum pinggirandan pengasingan kalau dilihat dari segi pemilikan, kuasa, dan
kehormatan.
Pola
yang menetapkan intelektual sebagai orang luar dengan baik diperlihatkan oleh
kondisi pengasingan, keadaan yang tak pernah sepenuhnya bisa menyesuaikan diri,
senantiasa merasa di luar dunia tidak formal dan tidak asing lagi didiami oleh
kaum pribumi, cenderung menghindari bahkan tidak menyukai atribut nasional.
Pengasingan
bagi kaum intelektual dalam artian metafisis ini keresahan, pergerakan,
guncangan dan mengusik yang lain. Kita tidak bisa kembali ke posisi semula dan
mungkin kondisi yang lebih stabil tertinggal di negeri sendiri. Dan sayangnya,
kita tidak pernah benar-benar tiba dirumah atau di situasi baru.
Pada
sekitar tahun 1968 para intelektual berpaling dari para penerbitnya. Kini
mereka ke media massa dengan menjadi jurnalis, tamu dan pembawa acara talkshow, penasihat, manajer dan
sebagainya. Mereka tidak hanya mempunyai audiens yang sangat besar, tapi juga
segenap kerja mereka sebagai intelektual tergantung kepada pemirsa atau
pembacanya. Media massa telah mengurangi sumber-sumber legitimasi intelektual,
mengitari inteligensi profesional, sumber klasik legitimasi dengan lingkup
konsentrasi yang lebih luas.
Intelektual
saat ini harus menjadi amatir, seseorang yang menganggap bahwa dengan menjadi
anggota masyarakat yang berpikir serta hirau, orang tersebut berhak memunculkan
isu moral dalam kegiatan yang paling teknis dan profesional sekalipun, yang
melibatkan sebuah negara, kekuasaanya, caranya berinteraksi dengan warga
negaranya, seperti halnya dengan masyarakat lain.
Di
sisi lain, jika memandang intelektual individu sebagai sebuah sosok sempurna,
ksatria terkemuka yang begitu murni dan berbudi. Amat sempurnanya, sehingga
akan menepis kecurigaan bahwa ia mempunyai kepentingan materil.
Kenyataannya
intelektual tak harus terbebas dari kontroversi dan figurnya aman sebagaimana
seorang teknisi yang bersahabat. Dalam kasus tertentu, intelektual dianggap
orang yang suaranya mengobarkan dekat dan jika mungkin kontroversi.
Model
intelektual dahulu kala menurut Jacoby terdiri dari segelintirnama yang
sebagian besar tinggal di Greenwich Village (Latin Quarter-nya New York) aawal
abad ini. Secara umum mereka dikenal sebagai intelektual New York. Sebagian besar
mereka adalah Yahudi, sayap kiri (tapi umumnya anti-komunis), dan hidup dari
tulisannya.
Akibatnya,
intelektual sekarang lebih merupakan profesor yang tertutup dengan penghasilan
yang terjamin dan tak berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah. Di
samping itu, menjadi intelektual nukanlah sama sekali tidak konsekuen kalau
juga menjadi akademis atau pianis.
Pertama-tama
saya pikir keliru kalau membuat perbandingan yang menyakitkan tentang
universitas, atau bahkan perihal Amerika Serikat. Ada periode di Perancis tak
lama setelah Perang Dunia II ketika segelintir intelektual independen terkemuka
semacam Sartre, Camus, Aron, de Beauvoit tampak mewakili ide klasik intelektual
yaitu yang merupakan cetak biru dari raksasa abad ke-19 (ini sering hanya
mitos). Tetapi yang tak disinggung Jacoby adalah pekerjaan intelektual pada
abad ke-20 yang tak hanya berpusat pada debat publik dan mangangkat polemik
seperti yang dikatakan Julien Benda atau mungkin diperlihatlan oleh Bertrand Rusell
dan sejumlah intelektual Bohemian New York.
Persoalan
kaum intelektual adalah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalisasi
modern seperti yang telah didiskusikan. Bukan dengan berpura-pura Bahwa mereka
tidak disana atau mengingkari pengaruhnya. Tetapi dengan mempresentasikan nilai
dan hak khusus yang berbeda. Semua ini dihimpun menjadi sesuatu yang disebut
amatirisme. Yang secara harfiah berati aktivitas yang digerakkan oleh
kepeduliandan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi
yang sempit.
Dalam
cara yang lebih konsistendan berkesinambungan, para intelektual yang dekat
dengan perumusan kebijakan dan dapat mengontrol patronase pemberian pekerjaan,
upah, promosi, cenderung memantau individu-individu yang berpijak pada garis
profesionalisme dan yang di mata atasan mereka secara bertahap memancarkan
suasana kontroversi dan tidak bekerja sama.
Intelektual
bukanlah seorang fungsioner atau pegawai yang sepenuhnya taat kepada kebijakan
pemerintah, perusahaan raksasa atau gilda orang yang berpikiran seakan
profesional. Dalam situasi ini godaan untuk menafikan moral atau berpikir
sepenuhnya berdasarkan spesialisasi, atau membatasi skeptisisme demi
konformitas, terlalu besar untuk dipercayai. Banyak intelektual yang sepenuhnya
mengalah kepada godaan ini.
Kegiatan
utama intelektual di abad kita ini adalah mempertanyakan, untuk tidak
mengatakan menggerogoti otoritas. Jadi, kita harus meengatakan bahwa yang tak
muncul hanya konsesus tentang apa yang membangun realitas objektif, tetapi
banyak otoritas tradisional, termasuk Tuhan, yang terhanyut.
Salah
satu yang terkotor dari seluaruh langkah awal intelektual adlah mencela
penyalahgunaan dalam kultur seseorang sembari memaafkan praktek serupa dinegeri
sendiri. Contoh klasiknya adalah intelektual cemerlang dari Perancis abad
ke-19, Alexis de Tocqueville. Bagi sebagian besar kita yang dididik agar
mempercayai nilai-nilai klasik demokrasi liberal dan Barat, Tocqueville menjadi
contoh bahwa nilai-nilai tesebut hampir di atas kertas saja.
Bagi
seorang intelektual yang tinggal di Amerika, ada realitas yang dihadapi.
Katakanlah bahwa negri kita mempunyai masyarakat imigran yang sangat majemuk
dengan sumber daya dan penyelesaian yang fantastis.
Dalam
hal ini arti intelektual sebuah situasi diperoleh dengan membandingkan
pengetahuan serta fakta yang tersedia dengan sebuah norma yang juga diketahui
dan tersedia. Ini bukanlah tugas yang enteng. Karena dokumentasi, riset,
pembuktian, diperlukan agar mendapatkan informasi yang tak sekadar
serpihan-serpihan, pecahan.
Dalam
pandangannya tak ada yang lebih patut dicela daripada kebiasaan dalam benak
intelektual yang menyebabkan penghindaran yang karakteristiknya berpaling dan
sebuah posisi sulit dan prinsipil.
Bagi
seorang intelektual, kebiasaan pikiran ini adalah korupsi dalam bentuk
tertinggi. Jika ada yang dapat diubah bentuknya, dinetralisasi dan akhirnya
membunuh kehidupan intelektual yang bergairah, itu adalah internalisasi
kebiasaan semacam itu.
Setiap
intelektual yang urusannya adalah mengartikulasikan dan merepresentasikan
pandangan, ideologi khusus, secara logis ingin mewujudkan gagasannya dalam
masyarakat. Kaum intelektual yang mengklaim hanya menulis untuk dirinya sendiri
atau hanya untuk belajar semata atau ilmu pengetahuan abstrak, tidaklah
dipercaya dan harus tidak dipercaya. Seperti dikatakan oelh penulis besar abad
ke 20, Jean Genet, pada saat anda mempublikasikan esai kepada masyarakat, anda
telah memasuki kehidupan politik. Jadi jika tidak ingin politis, janganlah
menulis esai atau berbicara.
Intelektual
yang benar adalah yang sekuler. Namun, banyak intelektual berpura-pura bahwa
peran mereka adalah sesuatu yang lebih tinggi, nilai pamungkas, moralitas
bermula dengan aktivitas mereka dalam dunia sekuler, kepentingan siapa yang
dilayani, bagaimana ia membedakan antara kekuasaan dan keadilan, apa yang ia
ungkapkan sehubungan dengan pilihan dan prioritas seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar