Laman

Jumat, 01 Juli 2016

Resume Edward Said - Peran Intelektual

Julien Benda mendefinisikan intelektual sebagai segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf raja. Mereka ini yang membangun kesadaran untuk manusia. La trahison des clerc (pengkhianatan kaum intelektual) merupakan kecaman atas intelektual yang tidak mengabaikan panggilan serta telah mengkompromikan prinsip-prinsip mereka. Julien menyebut segelintir nama dan karakteristik utama dari mereka yang dianggap sebagai intelektual sejati. Intelektual sejati menciptakan tatanan dalam masyarakat, karena apa yang mereka junjung adalah standar kebenaran dan keadilan abadi.
Karya termasyhur Julien Benda The Treason of the Intellectualls mengesankan bahwa intelektual ada dalam ruang universal, tidak terikat baik oleh batasan negara maupun identitas etnik.
Dalam derajat tertentu, fokus yang menyempit serta lokalisasi cara pandang terhadap intelektual juga berkaitan dengan berbiaknya studi-studi khusus, yang bisa dianggap sebagai penyebab perkembangan peran intelektual dalam kehidupan modern.
Pada masa pramodern pengusiran menjadi hukuman paling mengerikan karena tidak hanya bertahun-tahun berpisah dengan sanak saudara  dan tempat-tempat yang akrab, tetapi juga menjadi paria secara permanen. Di abad 20, makna pengasingan telah bergeser dari pengucilan yang terkadang eksklusif, penghukuman individu-individu istimewa seperti penyair akbar  Latin Ovid yang diusir dari Roma ke kota terpencil di Laut Hitam, menjadi hukuman paling kejam seluruh masyarakat atau bangsa. Pengasingan tak jarang merupakan akibat sampingan dari kekuatan-kekuatan impersonal semacam perang, bahaya kelaparan atau penyakit. Individu-individu merasa asing dengan masyarakat mereka dan karena itu menjadi kaum pinggirandan pengasingan kalau dilihat dari segi pemilikan, kuasa, dan kehormatan.
Pola yang menetapkan intelektual sebagai orang luar dengan baik diperlihatkan oleh kondisi pengasingan, keadaan yang tak pernah sepenuhnya bisa menyesuaikan diri, senantiasa merasa di luar dunia tidak formal dan tidak asing lagi didiami oleh kaum pribumi, cenderung menghindari bahkan tidak menyukai atribut nasional.
Pengasingan bagi kaum intelektual dalam artian metafisis ini keresahan, pergerakan, guncangan dan mengusik yang lain. Kita tidak bisa kembali ke posisi semula dan mungkin kondisi yang lebih stabil tertinggal di negeri sendiri. Dan sayangnya, kita tidak pernah benar-benar tiba dirumah atau di situasi baru.
Pada sekitar tahun 1968 para intelektual berpaling dari para penerbitnya. Kini mereka ke media massa dengan menjadi jurnalis, tamu dan pembawa acara talkshow, penasihat, manajer dan sebagainya. Mereka tidak hanya mempunyai audiens yang sangat besar, tapi juga segenap kerja mereka sebagai intelektual tergantung kepada pemirsa atau pembacanya. Media massa telah mengurangi sumber-sumber legitimasi intelektual, mengitari inteligensi profesional, sumber klasik legitimasi dengan lingkup konsentrasi yang lebih luas.
Intelektual saat ini harus menjadi amatir, seseorang yang menganggap bahwa dengan menjadi anggota masyarakat yang berpikir serta hirau, orang tersebut berhak memunculkan isu moral dalam kegiatan yang paling teknis dan profesional sekalipun, yang melibatkan sebuah negara, kekuasaanya, caranya berinteraksi dengan warga negaranya, seperti halnya dengan masyarakat lain.
Di sisi lain, jika memandang intelektual individu sebagai sebuah sosok sempurna, ksatria terkemuka yang begitu murni dan berbudi. Amat sempurnanya, sehingga akan menepis kecurigaan bahwa ia mempunyai kepentingan materil.
Kenyataannya intelektual tak harus terbebas dari kontroversi dan figurnya aman sebagaimana seorang teknisi yang bersahabat. Dalam kasus tertentu, intelektual dianggap orang yang suaranya mengobarkan dekat dan jika mungkin kontroversi.
Model intelektual dahulu kala menurut Jacoby terdiri dari segelintirnama yang sebagian besar tinggal di Greenwich Village (Latin Quarter-nya New York) aawal abad ini. Secara umum mereka dikenal sebagai intelektual New York. Sebagian besar mereka adalah Yahudi, sayap kiri (tapi umumnya anti-komunis), dan hidup dari tulisannya.
Akibatnya, intelektual sekarang lebih merupakan profesor yang tertutup dengan penghasilan yang terjamin dan tak berkepentingan terhadap dunia di luar ruang kuliah. Di samping itu, menjadi intelektual nukanlah sama sekali tidak konsekuen kalau juga menjadi akademis atau pianis.
Pertama-tama saya pikir keliru kalau membuat perbandingan yang menyakitkan tentang universitas, atau bahkan perihal Amerika Serikat. Ada periode di Perancis tak lama setelah Perang Dunia II ketika segelintir intelektual independen terkemuka semacam Sartre, Camus, Aron, de Beauvoit tampak mewakili ide klasik intelektual yaitu yang merupakan cetak biru dari raksasa abad ke-19 (ini sering hanya mitos). Tetapi yang tak disinggung Jacoby adalah pekerjaan intelektual pada abad ke-20 yang tak hanya berpusat pada debat publik dan mangangkat polemik seperti yang dikatakan Julien Benda atau mungkin diperlihatlan oleh Bertrand Rusell dan sejumlah intelektual Bohemian New York.
Persoalan kaum intelektual adalah mencoba berhadapan dengan kendala profesionalisasi modern seperti yang telah didiskusikan. Bukan dengan berpura-pura Bahwa mereka tidak disana atau mengingkari pengaruhnya. Tetapi dengan mempresentasikan nilai dan hak khusus yang berbeda. Semua ini dihimpun menjadi sesuatu yang disebut amatirisme. Yang secara harfiah berati aktivitas yang digerakkan oleh kepeduliandan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.
Dalam cara yang lebih konsistendan berkesinambungan, para intelektual yang dekat dengan perumusan kebijakan dan dapat mengontrol patronase pemberian pekerjaan, upah, promosi, cenderung memantau individu-individu yang berpijak pada garis profesionalisme dan yang di mata atasan mereka secara bertahap memancarkan suasana kontroversi dan tidak bekerja sama.
Intelektual bukanlah seorang fungsioner atau pegawai yang sepenuhnya taat kepada kebijakan pemerintah, perusahaan raksasa atau gilda orang yang berpikiran seakan profesional. Dalam situasi ini godaan untuk menafikan moral atau berpikir sepenuhnya berdasarkan spesialisasi, atau membatasi skeptisisme demi konformitas, terlalu besar untuk dipercayai. Banyak intelektual yang sepenuhnya mengalah kepada godaan ini.
Kegiatan utama intelektual di abad kita ini adalah mempertanyakan, untuk tidak mengatakan menggerogoti otoritas. Jadi, kita harus meengatakan bahwa yang tak muncul hanya konsesus tentang apa yang membangun realitas objektif, tetapi banyak otoritas tradisional, termasuk Tuhan, yang terhanyut.
Salah satu yang terkotor dari seluaruh langkah awal intelektual adlah mencela penyalahgunaan dalam kultur seseorang sembari memaafkan praktek serupa dinegeri sendiri. Contoh klasiknya adalah intelektual cemerlang dari Perancis abad ke-19, Alexis de Tocqueville. Bagi sebagian besar kita yang dididik agar mempercayai nilai-nilai klasik demokrasi liberal dan Barat, Tocqueville menjadi contoh bahwa nilai-nilai tesebut hampir di atas kertas saja.
Bagi seorang intelektual yang tinggal di Amerika, ada realitas yang dihadapi. Katakanlah bahwa negri kita mempunyai masyarakat imigran yang sangat majemuk dengan sumber daya dan penyelesaian yang fantastis.
Dalam hal ini arti intelektual sebuah situasi diperoleh dengan membandingkan pengetahuan serta fakta yang tersedia dengan sebuah norma yang juga diketahui dan tersedia. Ini bukanlah tugas yang enteng. Karena dokumentasi, riset, pembuktian, diperlukan agar mendapatkan informasi yang tak sekadar serpihan-serpihan, pecahan.
Dalam pandangannya tak ada yang lebih patut dicela daripada kebiasaan dalam benak intelektual yang menyebabkan penghindaran yang karakteristiknya berpaling dan sebuah posisi sulit dan prinsipil.
Bagi seorang intelektual, kebiasaan pikiran ini adalah korupsi dalam bentuk tertinggi. Jika ada yang dapat diubah bentuknya, dinetralisasi dan akhirnya membunuh kehidupan intelektual yang bergairah, itu adalah internalisasi kebiasaan semacam itu.
Setiap intelektual yang urusannya adalah mengartikulasikan dan merepresentasikan pandangan, ideologi khusus, secara logis ingin mewujudkan gagasannya dalam masyarakat. Kaum intelektual yang mengklaim hanya menulis untuk dirinya sendiri atau hanya untuk belajar semata atau ilmu pengetahuan abstrak, tidaklah dipercaya dan harus tidak dipercaya. Seperti dikatakan oelh penulis besar abad ke 20, Jean Genet, pada saat anda mempublikasikan esai kepada masyarakat, anda telah memasuki kehidupan politik. Jadi jika tidak ingin politis, janganlah menulis esai atau berbicara.

Intelektual yang benar adalah yang sekuler. Namun, banyak intelektual berpura-pura bahwa peran mereka adalah sesuatu yang lebih tinggi, nilai pamungkas, moralitas bermula dengan aktivitas mereka dalam dunia sekuler, kepentingan siapa yang dilayani, bagaimana ia membedakan antara kekuasaan dan keadilan, apa yang ia ungkapkan sehubungan dengan pilihan dan prioritas seseorang.

Tidak ada komentar: