Laman

Rabu, 20 April 2016

Kerajaan Majapahit


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang berpusat di Jawa Timur dan pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M oleh Raden wijaya, tepatnya di daerah Trowulan yang sekarang menjadi Mojokerto. Berdirinya kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari kerajaan Singhasari yang runtuh akibat serangan dari bangsa Mongol.  Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yg berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit menguasai kerajaan-kerajaan lain di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali dan Filipina. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir yg menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu karajaan terbesar di Indonesia.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal berdirinya kerajaan Majapahit?
2.      Bagaimana puncak kejayaan kerajaan Majapahit?
3.      Bagaimana silsilah kerajaan Majapahit?
4.      Siapa sajakah empat orang putri keturunan dari Kertanegara?
5.      Apakah yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Majapahit?
  
C.   Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya kerajaan Majapahit
2.      Untuk mengetahui silsilah pada erajaan Majapahit
3.      Untuk mengetahui siapa saja keturunan dari Kertanegara
4.      Untuk mengetahui penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit
5.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Kuno

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Majapahit
Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bagian utara, ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah merasa aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat bantuannya ia berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai daerah kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke negrinya.  Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut Upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian di beri hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini  disebutkan dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk dapat di penjara, lalu di hukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309 menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Oodrico da Pordenone  mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan memilih menjadi Bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

B. Kejayaan Kerajaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" nusantara. Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenajung Malaya, Kalimantan Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok. Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai Permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun di Bali dan juga naskah Cerita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama. Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya Keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku.

Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di  Palembang.

C. Silsilah Kerajaan Majapahit
Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut kidung Harsa-Wijaya, penobatannya itu terjadi pada saat purnama bulan Karttika (ri purneng Karttikamasa). Walaupun Kidung Harsa Wijaya tidak menyebutkan angka tahun penobatannya, angka tahun penobatan ini dapat diketahui berdasarkan kehadiran tentara Kubhilai Khan di Jawa, yaitu pada tahun 1293 M seperti disebutkan dalam berita China. Tahun 1293 M ini bertepatan dengan tahun Saka 1215. Dengan demikian, saat penobatan Wijaya menjadi raja itu berlangsung pada tanggal 15 Karttika 1215 Saka, yang berdasarkan unsur-unsur pertanggalnya bertepatan dengan tanggal 10 November 1293 M.
Sepeninggalnya Kertarajasa pada tahun 1309 M, putranya Jayanagara dinobatkan menjadi raja. Di dalam salah satu prasastinya ia disebutkan dengan nama gelar abhisekanya Sri Sundarapandyadewadhiswarana-Maharajabhiseka Wikramotunggadewa. Pada waktu ayahnya masih memrintah, yakni pada tahun 1296 M, sebagai seorang putra mahkota Jayanagara telah berkedudukan pula sebagai kumararaja. Raja Jayanagara tidak berputra. Sepeninggalannya pada tahun 1328 M ia digantikan oleh adik perempuannya, yaitu Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan nama gelar abhiseka Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwarddhani. Tribhuwana memerintah selama dua belas tahun. Pada tahun 1350 M ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit pada tahun 1350 M dengan gelar Sri Rajasanagara dan dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Sepeninggal raja Hayam Wuruk, takhta kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa). Wikramawarddhana mulai memerintah pada tahun 1389 M. Ia memerintah dua belas tahun lamanya. Pada tahun 1400 M ia mengundurkan diri dari pemerintahan, menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat anaknya yang bernama Suhita untuk menggantikannya menjadi raja Majapahit.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara (Aji Ratnapangkaja) yang meninggal pada tahun 1446 M. Karena Suhita tidak mempunyai anak, sepeninggalnya takhta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Sepeninggal Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikan menjadi Raja dengan bergelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara. Sepeninggal Rajasawarddhana selama tiga tahun (1453-1456 M) Majapahit mengalami masa kekosongan tanpa raja (inter-regnum). Akibatnya, sepeninggal Rajasawarddhana tidak ada seseorang pun di antara keluarga raja-raja Majapahit yang sanggup tampil untuk segera memegang tumpuk pemerintahan di Majapahit.
Setelah interregnum berlangsung selama tiga tahun, pada tshun 1456 M tampilah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menaikin takhta kerajaan Majapahit. Ia adalah salah seorang anak Dyah Kertawijaya yang semasa pemerintahan ayahnya menjadi raja daerah di Wengker (Bhattara ing Wengker). Sebagai gantinya kemudian Bhre Pandan Salas menjadi raja di Majapahit. Ia dikenal pula dengan nama Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana. Penyingkiran Bhre Pandan Salas dari keratonnya itu disebabkan serangan dari Bhre Kertabhumi, yang ingin merebut kekuasaan Majapahit. Dari Parraton diketahui bahwa Bhre Kertabhumi adalah anak bungsu Sang Sinagara (Rajasawarddhana). Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam prasasti-prasasti Girindrawarddhana tersebut dapat diduga bahwa ketika keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kertabhumi, Bhre Pandan Salas menyingkir ke Daha. Di Daha ia kemudian meneruskan pemerintahnnya sampai saat ia meninggal pada tahun 1474 M.Sepeninggal Dyah Suraprabhawa, kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh anaknya Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.

D. Putri-Putri Keturunan Kertanagara
Kertanagara memiliki 4 orang putri yang bernama Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri. Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Melayu oleh pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu pada masa kerajaan Singhasari. Dara Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara. Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Namun ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.

E. Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta.
Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun Saka 1400 (1478 M). Saat keruntuhannya disimpulkan dalam candrasengkala sirna-ilang-kertaning-bhumi, dan disebutkan pula bahwa keruntuhannya itu disebabkan serangan dari kerajaan Islam Demak. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan ternyata bahwa pada saat itu kerajaan Majapahit belum runtuh dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup lama lagi. Prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1486 M, masih menyebut adanya kekuasaan kerajaan Majapahit. Rajanya yang berkuasa pada waktu itu bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana, bahkan ia disebutkan pula sebagai seorang Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunatha.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1518. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak. Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Sehingga pada tahun 1518, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.


DAFTAR PUSTAKA

o   Notosusanto, Nugroho. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
o   Purwadi. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Gelombang Pasang
o   https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQDg26SKbdc4jMK90drPV6NhLTen0razAfwgfUuZ23foQgxR-ZKmClZpjUuwI46ouTz1kK3VS8GeBveBwChzgVPn4VdE4J3YuRGsm3NMs0MBxAiEmKg53nHtp4iuzwe8AtuLFFBT1HZS8d/s640/WANGSA-RAJASA.jpg

Tidak ada komentar: